Rabu, 09 April 2014

KAJIAN MASALAH IDEOLOGI PANCASILA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia yang dalam perumusan dan penyusunannya banyak melakukan perundingan-perundingan yang melibatkan banyak pihak sehingga menghasilkan butir-butir Pancasila. Butir-butir Pancasila tersebut adalah hasil musyawarah bersama yang dibuat dengan tujuan agar dapat menjadi pedoman bagi masyarakat Indonesia dalam menjalankan hidup berbangsa dan bernegara. Pancasila juga merupakan sendi, asas, dasar atau peraturan tingkah laku yang penting dan baik. Secara singkat dapat diuraikan bahwa kedudukan Pancasila adalah sebagai dasar Negara RI. Untuk mengatur pemerintahan dan penyelenggaraan negara, sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia.
Remaja merupakan calon penerus bangsa yang diharapkan dapat membangun dan memajukan bangsa dengan menerapkan nila-nilai dalam Pancasila. Namun, dalam perjalanannya arus globalisasi yang masuk ke Indonesia berdampak pada pola pikir dan gaya hidup remaja. Sering kali remaja terkait dalam persoalan kerusuhan tak sedikit pula yang menjadi provokator dalam aksi-aksi kerusuhan. Bukan berbicara yang penting namun terbalik faktanya yang penting berbicara dan berorasi tanpa mengetahui dasar hukumnya, aksi-aksi anarki dan serangkaian perilaku yang tidak mencerminkan orang terdidik. Padahal didalam butir-butir Pancasila yang telah disusun sedemikian rupa terdapat nilai-nilai budi pekerti yang diharapkan dapat memacu remaja untuk berprestasi, berkreasi dan memaknai Pancasila sebagai sebuah pondasi yang terinternalisasi kedalam jiwa dan perilaku mereka sehingga bisa meminimalisir  kenakalan remaja yang tidak diinginkan oleh para pejuang-pejuang dahulu kala.
Besar harapan founding father (penggagas bangsa Indonesia) dalam memerdekakan bangsa ini seharusnya ada nilai tersendiri yang bisa dipetik oleh generasi penerusnya bukan malah sebaliknya. Kita sadar dan tahu bahwa masa depan sebuah bangsa ditentukan oleh anak bangsa itu sendiri dalam hal ini generasi muda sebagai pewaris negeri pelanjut sejarah. Jika ternyata generasi bangsa  mengalami degradasi moral, tak diragukan lagi bahwa generasi mudanya hancur begitu pula dengan masa depan bangsa itu, sebaliknya kalau bagus generasi mudanya, prestatif usahanya, kreatif pikirannya dan bermoral tingkah lakunya, maka cemerlang pula masa depan bangsa tersebut.
Indonesia sebagai sebuah negeri hasil jerih payah generasi terdahulu dengan perang fisik antara leluhur dan pejuang bangsa kita melawan penjajah, bagaimana merebutnya, bahkan harta, darah dan nyawa telah disumbangkan demi eksisnya bangsa Indonesia, tapi sayang mayoritas anak bangsa ini justru membuat redupnya harapan masa depan,  dilihat dari pembangunan moral yang terkondisikan dengan berbangga-bangga berbuat maksiat, anak bangsa yang jadi pejabat menghiasi dirinya dengan korupsi dan manipulasi, anak bangsa yang jadi pedagang menari meraup keuntungan dengan merekayasa timbangan, anak bangsa yang jadi selebritis dengan ringannya berbuat seks bebas dan berusaha di publikasikan supaya menjadi konsumsi anak bangsa yang lainnya, dilihat juga dunia pelajar, remaja dan pemuda malah asik tawuran, mabuk-mabukan, geng motor yang anarkis, bahkan kalangan  penegak hukum seperti polisi, jaksa dan pengacara  menjadi terpidana dan penjahat kejaran hukum. Hal ini tidak lepas dari pragmatisme dan hedonisme yang telah merasuk kedalam jiwa mereka. Mereka ingin semuanya serba cepat, instan dan mudah untuk meraihnya. Hal itu adalah masalah masa kini yang dapat melunturkan nilai-nilai ideologi Pancasila yang seharusnya dijaga oleh segenap bangsa.

1.2  Rumusan Masalah
  1. Bagaimana sejarah Pancasila dan siapakah yang berperan didalamnya?
  2. Apa penyebab lunturnya nilai-nilai Pancasila?
  3. Bagaimanakah  bentuk lunturnya ideologi Pancasila?
  4. Bagaimana peran Pancasila dalam memfilter arus globalisasi?

1.3  Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
  1. Mendeskripsikan proses terbentuknya Pancasila, cita-cita dilahirkannya dan para founding father yang terlibat didalamnya.
  2. Mendeskripsikan sejauh mana isme-isme yang telah masuk kedalam bangsa ini dan mempengaruhi masyarakat bangsa ini.
  3. Mendeskripsikan bentuk lunturnya ideologi Pancasila.
  4. Mendeskripsikan peran Pancasila memfilter arus globalisasi yang masuk ke Indonesia.



























BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Pancasila
Kemerdekaan bangsa Indonesia pertama kali diumumkan oleh Pemerintah Militer di Indonesia pada tanggal 17 September 1944 oleh perdana Menteri Koyso, bahwa dalam waktu dekat akan dibentuk suatu badan yang bertugas mempelajari langkah-langkah mana yang perlu diambil sebagai persiapan kemerdekaan. Oleh karena terus menerus terdesak, maka pada tanggal 29 April 1945 Jepang memberikan janji kemerdekaan yang kedua kepada bangsa Indonesia, yaitu janji kemerdekaan tanpa syarat yang dituangkan dalam Maklumat Gunseikan (Pembesar Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Madura).
Dalam maklumat itu sekaligus dimuat dasar pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tugas badan ini adalah menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya dikemukakan kepada pemerintah Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia.
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 28 Mei 1945 telah dilantik resmi oleh badan yang diketuai oleh seorang Jepang, akan tetapi kenyataannya dipimpin secara bergiliran oleh dua orang ketua muda, yaitu Dr. Rajiman Wediodinigrat dan R.P. Suroso. Pada mulanya anggotanya hanya berjumlah 63 orang. Badan ini mengadakan dua kali sidang yang pertama kali pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni dan yang kedua pada tanggal 10-17 Juli 1945.
Dalam sidang pertama ini yang dibicarakan khusus mengenai calon dasar negara untuk Indonesia merdeka nanti. Pada sidang pertama itu, banyak anggota yang berbicara, dua diantaranya adalah Muhammad Yamin dan Bung Karno, yang masing-masing mengusulkan calon dasar negara untuk Indonesia merdeka.
Muhammad Yamin mengajukan usul mengenai dasar negara secara lisan yang terdiri atas lima hal, yaitu:
1.      Peri Kebangsaan
2.      Peri Kemanusiaan
3.      Peri Ketuhanan
4.      Peri Kerakyatan
5.      Kesejahteraan Rakyat
Selain itu Muhammad Yamin juga mengajukan usul secara tertulis yang juga. Terdiri atas lima hal, yaitu:
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa
2.      Persatuan Indonesia
3.      Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
4.      Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5.      Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Usulan ini diajukan pada tanggal 29 Mei 1945, kemudian pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengajukan usul mengenai calon dasar negara yang terdiri atas lima hal, yaitu:
1.      Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia)
2.      Internasionalisme (Perikemanusiaan)
3.      Mufakat atau Demokrasi
4.      Kesejahteraan Sosial
5.      Ketuhanan yang Berkebudayaan
Kelima hal ini oleh Bung Karno diberi nama Pancasila. Lebih lanjut Bung Karno mengemukakan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila, yaitu:  1. Sosio nasionalisme 2. Sosio demokrasi 3. Ketuhanan.
Selesai sidang pertama, pada tanggal 1 Juni 1945 para anggota BPUPKI sepakat untuk membentuk sebuah panitia kecil yang tugasnya adalah menampung usul-usul yang masuk dan memeriksanya serta melaporkan kepada sidang pleno BPUPKI. Tiap-tiap anggota diberi kesempatan mengajukan usul secara tertulis paling lambat sampai dengan tanggal 20 Juni 1945. Adapun anggota panitia kecil ini terdiri atas delapan orang, yaitu:  1. Ir. Soekarno 2. Ki Bagus Hadikusumo 3. K.H. Wachid Hasjim 4. Mr. Muh. Yamin 5. M. Sutardjo Kartohadikusumo 6. Mr. A.A. Maramis 7. R. Otto Iskandar Dinata 8. Drs. Muh. Hatta
Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan rapat gabungan antara Panitia Kecil, dengan para anggota BPUPKI yang berdomisili di Jakarta. Hasil yang dicapai antara lain disetujuinya dibentuk sebuah Panitia Kecil Penyelidik Usul-Usul/Perumus Dasar Negara, yang terdiri atas sembilan orang, yaitu: 1. Ir. Soekarno 2. Drs. Muh. Hatta 3. Mr. A.A. Maramis 4. K.H. Wachid Hasyim 5. Abdul Kahar Muzakkir 6. Abikusno Tjokrosujoso 7. H. Agus Salim 8. Mr. Ahmad Subardjo 9. Mr. Muh. Yamin.
Panitia Kecil yang beranggotakan sembilan orang ini pada tanggal itu juga melanjutkan sidang dan berhasil merumuskan calon Mukadimah Hukum Dasar, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Piagam Jakarta”.
Dalam sidang BPUPKI kedua, tanggal 10-16 Juli 1945, hasil yang dicapai adalah merumuskan rancangan Hukum Dasar. Sejarah berjalan terus. Pada tanggal 9 Agustus dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, dan sejak saat itu Indonesia kosong dari kekuasaan. Keadaan tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para pemimpin bangsa Indonesia, yaitu dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan PPKI mengadakan sidang, dengan acara utama:
(1)   mengesahkan rancangan Hukum Dasar dengan preambulnya (Pembukaannya)
(2)   memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Untuk pengesahan Preambul, terjadi proses yang cukup panjang. Sebelum mengesahkan Preambul, Bung Hatta terlebih dahulu mengemukakan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan, ada utusan dari Indonesia bagian Timur yang menemuinya.
Intinya, rakyat Indonesia bagian Timur mengusulkan agar pada alinea keempat preambul, di belakang kata “ketuhanan” yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Jika tidak maka rakyat Indonesia bagian Timur lebih baik memisahkan diri dari negara RI yang baru saja diproklamasikan. Usul ini oleh Muh. Hatta disampaikan kepada sidang pleno PPKI, khususnya kepada para anggota tokoh-tokoh Islam, antara lain kepada Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wakhid Hasyim dan Teuku Muh. Hasan. Muh. Hatta berusaha meyakinkan tokoh-tokoh Islam, demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Oleh karena pendekatan yang terus-menerus dan demi persatuan dan kesatuan, mengingat Indonesia baru saja merdeka, akhirnya tokoh-tokoh Islam itu merelakan dicoretnya “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di belakang kata Ketuhanan dan diganti dengan “Yang Maha Esa”.
Sekilas potret dan sejarah terbentuknya Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa Indonesia adalah sebagai bahan reflektif bagi para pemuda dan masyarakat bangsa Indonesia bahwa sebenarnya tidak semudah membalik telapak tangan, butuh orang-orang yang berjiwa besar yang berjiwa Indonesia untuk menyatukan dan menciptakan pandangan hidup ini sehingga melahirkan tatanan masyarakat yang damai dan makmur hidup berdampingan satu sama lain dengan menganggap bahwa perbedaan sebagai sebuah anugrah yang harus dijaga dan dipertahankan sampai akhir hayat sehingga dengan seperti itu Indonesia mampu melindungi dan menghargai satu sama lain demi terwujudnya cita-cita bersama yaitu masyarakat mandiri, berdikari dan makmur yang disegani dan dihargai dimata dunia.

2.2 Isme-Isme Penyebab Lunturnya Ideologi Pancasila
Jika dibandingkan pemahaman masyarakat tentang Pancasila dengan lima belas tahun yang lalu, sudah sangat berbeda, saat ini sebagian masyarakat cenderung menganggap Pancasila hanya sebagai suatu simbol negara dan mulai melupakan nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya. Padahal Pancasila yang menjadi dasar negara dan sumber dari segala hukum dan perundang-undangan adalah nafas bagi eksistensi bangsa Indonesia. Sementara itu, lunturnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, akibat tidak satunya kata dan perbuatan para pemimpin bangsa, Pancasila hanya dijadikan slogan di bibir para pemimpin, tetapi berbagai tindak dan perilakunya justru jauh dari nilai-nilai luhur Pancasila. Contoh yang tidak baik dari para pemimpin bangsa dalam pengamalan Pancasila telah menjalar pada lunturnya nilai-nilai Pancasila di masyarakat.
Kurangnya komitmen dan tanggung jawab para pemimpin bangsa melaksanakan nilai-nilai Pancasila tersebut, telah mendorong munculnya kekuatan baru yang tidak melihat Pancasila sebagai falsafah dan pegangan hidup bangsa Indonesia. Akibatnya, terjadilah kekacauan dalam tatanan kehidupan berbangsa, di mana kelompok tertentu menganggap nilai-nilainya yang paling bagus. Lunturnya nilai-nilai Pancasila pada sebagian masyarakat dapat berarti awal sebuah malapetaka bagi bangsa dan negara kita. Fenomena itu sudah bisa kita saksikan dengan mulai terjadinya kemerosotan moral, mental dan etika dalam bermasyarakat dan berbangsa terutama pada generasi muda. Timbulnya persepsi yang dangkal, wawasan yang sempit, perbedaan pendapat yang berujung bermusuhan dan bukan mencari solusi untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, anti terhadap kritik serta sulit menerima perubahan yang pada akhirnya cenderung mengundang tindak anarkhis.
Adapun Isme-isme (Paham-paham) yang telah mengikis perlahan-lahan nilai-nilai yang termaktub dalam pancasila diantaranya adalah:
1. Fanatisme
Fanatisme adalah suatu keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu, yang positif atau yang negatif, pandangan yang tidak memiliki sandaran teori atau pijakan kenyataan, tetapi dianut secara mendalam sehingga susah diluruskan atau diubah. Menurut definisinya, Fanatisme biasanya tidak rasional atau keyakinan seseorang yang terlalu kuat dan kurang menggunakan akal budi sehingga tidak menerima faham yang lain dan bertujuan untuk mengejar sesuatu. Adanya fanatisme dapat menimbulkan perilaku agresi dan sekaligus memperkuat keadaan individu yang mengalami deindividuasi untuk lebih tidak terkontrol perilakunya.
Fanatisme dipandang sebagai penyebab menguatnya perilaku kelompok yang tidak jarang dapat menimbulkan perilaku agresi. Individu yang fanatik akan cenderung kurang memperhatikan kesadaran sehingga seringkali perilakunya kurang terkontrol dan tidak rasional.
Pengertian Fanatisme sendiri dapat disebut sebagai orientasi dan sentimen yang mempengaruhi seseorang dalam : (a) berbuat sesuatu, menempuh sesuatu atau memberi sesuatu, (b) dalam berfikir dan memutuskan, (c) dalam mempersepsi dan memahami sesuatu, dan (d) dalam merasa secara psikologis, seseorang yang fanatik biasanya tidak mampu memahami apa-apa yang ada di luar dirinya, tidak faham terhadap masalah orang atau kelompok lain, tidak mengerti faham atau filsafat selain yang mereka yakini.
Ciri-ciri yang jelas dari sifat fanatik adalah ketidak mampuan memahami karakteristik individual orang lain yang berada diluar kelompoknya, benar atau salah. Secara garis besar fanatisme mengambil bentuk : (a) fanatik warna kulit, (b) fanatik etnik/kesukuan, dan (c) fanatik klas sosial. Fanatik Agama sebenarnya bukan bersumber dari agama itu sendiri, tetapi biasanya merupakan kepanjangan dari fanatik etnik atau klas sosial.
Fanatisme yang berlebihan dalam berbagai aspek kehidupan baik Agama, suku, ras, dan juga golongan akan melahirkan suatu sikap yang berlebihan sehingga mereka akan berbuat sesuka hatinya karena beranggapan bahwa orang diluar pemahaman dirinya adalah salah dan keliru. Fanatisme inilah yang kemudian melunturkan nilai-nilai kesatuan dalam perbedaan yang tertera didalam nilai falsafah bangsa ini. Fanatisme dalam Agama yang berlebihan misalnya, dia akan menganggap bahwa agama lain adalah salah sehingga mereka boleh diperlakukan bagaimanapun dengan dalil-dalil yang mereka tafsiri semaunya sendiri, sehingga tidak jarang banyak konflik antar agama yang terjadi di Indonesia disebabkan karena mereka memahami agamanya terlalu dangkal dengan menafikan agama lain yang ada di lingkungannya, mereka sudah tidak berfikiran bahwa mereka hidup dalam dunia majemuk dan mulkutural yang terdiri dari berbagai macam agama yang diakui oleh negara dimana memiliki hak yang sama dan merata untuk tinggal dan berdampingan satu sama lainnya. Bahkan fanatisme bukan hanya terjadi dan lahir dari hal-hal yang natural yang ada pada diri kita, tapi juga pada produk-produk yang dia sukai, bagaimana misalnya orang-orang yang fanatik terhadap sistem operasi, fanatik terhadap style, ada juga yang fanatik dengan idola yang dipujanya. Sebagian lain fanatik terhadap ideologi baru yang dianutnya.
Fanatik itu sungguh luar biasa. Kadang orang rela mati, bersitegang dengan apa yang menjadi fanatiknya. Contohnya adalah Harley Davidson, mereka yang fanatik terhadap motor gede itu bahkan rela mentato tubuhnya dengan slogan-slogan, logo, dan nama Harley. Fanatik lain misalnya fanatisme supporter terhadap salah satu klub sepak bola.
Fanatik boleh dan sah-sah saja, namun bilamana fanatik ini masuk pada wilayah fanatisme yang berlebihan sehingga mengganggu pada keutuhan bangsa dan meruncingnya problem ditengah-tengah masyarakat yang majemuk ini, tentunya sebagai masyarakat Indonesia yang sadar akan keberagaman bangsa ini, kita akan berupaya untuk mengurangi dan mengikis sedikit demi sedikit agar tidak menjadi problem bangsa baru yang hadir di bumi pertiwi yang kita cintai ini.
2. Egoisme
Istilah "egoisme" berasal dari bahasa Yunani yakni ego yang berarti "Diri" atau "Saya", dan -isme, yang digunakan untuk menunjukkan filsafat. Dengan demikian, istilah ini etimologis berhubungan sangat erat dengan egoisme.
Egoisme merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Istilah lainnya adalah "egois". Lawan dari egoisme adalah altruisme.
Hal ini berkaitan erat dengan narsisme, atau "mencintai diri sendiri," dan kecenderungan mungkin untuk berbicara atau menulis tentang diri sendiri dengan rasa sombong dan panjang lebar. Egoisme dapat hidup berdampingan dengan kepentingannya sendiri, bahkan pada saat penolakan orang lain. Sombong adalah sifat yang menggambarkan karakter seseorang yang bertindak untuk memperoleh nilai dalam jumlah yang lebih banyak daripada yang ia memberikan kepada orang lain. Egoisme sering dilakukan dengan memanfaat kanaltruismeirasionalitas dan kebodohan orang lain, serta memanfaatkan kekuatan diri sendiri dan / atau kecerdikan untuk menipu.
Egoisme berbeda dari altruisme, atau bertindak untuk mendapatkan nilai kurang dari yang diberikan, dan egoisme, keyakinan bahwa nilai-nilai lebih didapatkan dari yang boleh diberikan. Berbagai bentuk "egoisme empiris" bisa sama dengan egoisme, selama nilai manfaat individu diri sendirinya masih dianggap sempurna.
Egoisme personal mungkin masih bisa ditolerir ketika bentuknya positif misalnya belajar yang berlebihan dan lain sebagainya. Namun kalau egoisme negative yang merugikan orang lain tidak bisa dipertahankan bahkan harus dikikis karena justru akan berakibat merugikan orang lain. Begitu pula egoisme kelompok, justru itu yang sangat berbahaya karena justru merusak sendi-sendi keragaman bangsa, Egoisme juga akan melahirkan sifat penindasan yang kuat kepada yang lemah.
Egoisme dalam berbagai aspek hampir sama dengan fanatisme, bisa terjadi pada Agama, Suku, Ras dan lain sebagainya. Egoisme agama misalnya, agama A menindas agama B dengan bentuk pelarangan mendirikan tempat beribadah pada agama B disekitar lingkungannya, padahal B dalam poses pendirian tempat ibadahnya tidak melanggar secara hukum baik hukum agama A karena tidak melakukan perampasan dan hal-hal yang berbau kecurangan maupun lainnya yang merugikan agama A, dan juga hukum positif Negara Indonesia karena secara administrative pendirian bangunannya sudah mendapatkan ijin dari pihak-pihak yang berwenang, bahkan tempat ibadah yang akan dibangun tersebut berada di lingkungan dan komunitasnya agama B.
Nilai luhur Pancasila mengajarkan kepada kita semua untuk bisa hidup damai dan berdampingan dengan siapapun yang ada di bumi Indonesia, mengedepankan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi, mengutamakan musyawarah mufakat daripada keputusan individual dan tentunya lebih mengutamakan hidup bersama dengan baik dengan orang yang ada dilingkungan sekitar kita dari pada hidup sendirian. Berbeda dengan dunia barat dimana mereka memiliki dan menetapkan nilai-nilai individualistik yang hampir sama dengan egoisme.
3. Hedonisme
Kata hedonisme diambil dari Bahasa Yunani hedonismos dari akar kata hedone, artinya "kesenangan". (Henk ten Napel. 2009, Kamus Teologi:158).  Paham ini berusaha menjelaskan adalah baik apa yang memuaskan keinginan manusia dan apa yang meningkatkan kuantitas kesenangan itu sendiri. Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. (Frans magnis suseno, Etika Dasar.1987:114). Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia. (Lorens Bagus. 2000, Kamus Filsafat:282).
Hedonisme sebagai istilah yang menunjukan paham kesenangan berasal dari kata hedone yang berarti kesenangan. Dalam kamus Bahasa Indonesia, hedonisme berarti paham yang beranggapan bahwa kesenangan adalah yang paling benar di dunia ini.
Di dalam sejarah filsafat Yunani kuno, tokoh filsuf yang pertama memperkenalkan Hedonisme adalah Democritus (400-370 SM), yang memandang kesenangan sebagai tujuan pokok di dalam hidup. Kendatipun yang dimaksud bukanlah hanya sekedar kesenangan fisik saja, melainkan kesenangna fisik sebagai alat perangsang bagi berkembangnya intelektual manusia. Epicurus (341-270 SM), sebagai tokoh masa Hellenisme, ia lebih mempunyai argumen yang lebih rinci mengenai Hedonisme. Baginya kesenangan tetap menjadi sumber norma, tetapi tidak sekedar meliputi kesenangan jasmaniah semata-mata, sebab kesenangan ini, terutama yang terlalu berlebihan akhirnya akan menimbulkan rasa sakit pula. Banyak makan enak terkadang akan menimbulkan sakit perut, begitu juga banyak melakukan hubungan seksual akan menyebabkan kelelahan yang luar biasa. Senang bagi Epicurus bermakna tidak adanya rasa sakit di dalam badan dan tidak adanya kesulitan kejiwaan. Sehingga puncak  Hedone  menurut  Epicurus  adalah ketenangan jiwa.
4. Opportunisme
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa opurtunisme adalah paham yang semata-mata hendak mengambil keuntungan untuk diri sendiri dari kesempatan yang ada tanpa berpegang pada prinsip tertentu (nomina). Oportunisme juga dimaknai sebagai suatu aliran pemikiran yang menghendaki pemakaian kesempatan menguntungkan dengan sebaik-baiknya, demi diri sendiri, kelompok, atau suatu tujuan tertentu. Oportunisme adalah tindakan bijaksana yang dipandu terutama oleh motivasi mementingkan diri sendiri. Istilah ini dapat diterapkan untuk individukelompokorganisasigayaperilaku, dan tren. Hal ini mungkin dipinjam dari ekspresi Italia opportunism (yang pada abad ke-19 politik Italia berarti "mengambil keuntungan dari keadaan yang berlaku") atau dari Republik oportunis di Perancis, dan memasuki bahasa Inggris di 1870-an.
Dalam tataran praksis oportunis lebih dimaknai pada sikap seseorang yang tidak memiliki prinsip tertentu, dimana bisa mengambil manfaat dari situasi yang ada untuk kepentingan dirinya. Oportunis tidak lebih sebagai sebuah parasit, tidak mau mengambil resiko, oportunis seperti bajing loncat. Tidak tuntas dalam persoalan ini lalu lari ketempat aman dimana dia bisa diuntungkan dengan pelariannya dan menyisakan kerugian pada apa yang ditinggalkannya. Sikap oportunis yang terpenting adalah bagaimana hasratnya terpenuhi, tidak mau tahu apakah ada yang rugi atau tidak dengan sikap yang diambilnya.
Banyak hal sebenarnya contoh dan fakta yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita. Dalam dunia politik misalnya bisa kita bedakan para politisi yang memiliki prinsip politikal untuk mensejahterahkan rakyatnya dengan mereka yang hanya mengekor pada yang berkuasa, dengan catatan bahwa proses yang dia lakukan menguntungkan bagi dirinya dan partainya. Politisi oportunis memiliki inkonsistensi sikap dalam memperjuangkan apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajibannya. Ketika masih dalam proses kampanye, dia begitu dekat dengan rakyatnya dan berjanji melakukan ini dan itu untuk memperjuangkan hak masyarakat dan rakyatnya di parlemen, tapi ketika jadi duduk dikursi empuk parlemen dia justru ikut penguasa yang dipandang memiliki power dan menguntungkan dirinya, tidak peduli apakah kebijakan yang diambilnya justru merugikan masyarakat, yang paling prinsip adalah ketika dia melakukan sikap ini dia aman dari posisi jabatannya. Kalau dia tetap mencoba memaksakan diri untuk melawan arus yang berpihak pada rakyat dia khawatir justru posisi dirinya terancam dari partainya untuk diganti. Jadi politisi model oportunis seperti ini lebih memilih menghianati rakyat dan bangsanya daripada posisi dirinya diberhentikan.
Sikap oportunis sangat berbahaya dan merugikan bagi siapapun, sikap ini bisa terjadi pada aspek apapun tak terkecuali dalam dunia pendidikan, baik pada dosen itu sendiri yang memanfaatkan mahasiswanya maupun mahasiswa yang memanfaatkan mahasiswa lainnya. Sebagai akademisi tentu kita malu kalau memiliki sifat seperti ini, karena disamping kita dianggap sebagai kaum intelektual, kita juga menjadi harapan penerus generasi bangsa. Apa jadinya kalau misalnya kalangan intelektual menjadi kaum oportunis? Tentu bumi pertiwi akan menangis melihat kondisi ini. Jadi sebagai kaum intelektual banyak hal positif lain yang bisa lakukan tanpa harus melakukan sikap oportunisme yang menurut penulis adalah sebagai bentuk pengingkaran pada Pancasila yang mengajarkan bagaimana kita bersikap arif dan terbuka terhadap sesama, katakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah bukan malah sebaliknya. Dunia mahasiswa hari ini kerap kali dijadikan sebagai ajang dan media melakukan sikap-sikap oportunisme. Sebutlah misalnya bagaimana para oportunis menjadi joki dalam tes masuk perguruan tinggi, menerima jasa pembuatan skripsi dan lain sebagainya. Parahnya lagi terkadang dimainkan oleh oknum-oknum dosen yang ada di kampusnya. Miris melihat potret dunia akademis yang seperti ini, sehingga kedepan perlu adanya motivasi dan sugesti yang dilakukan oleh para stake holder kampus yang memiliki hati dan kejernihan pikiran untuk menyadarkan mereka-mereka yang telah menjadi pelaku oportunis. Disamping kampus juga memberikan regulasi yang begitu ketat bahwa kalau mereka benar-benar terbukti melakukan hal yang disebutkan diatas akan dikeluarkan dari almamater tersebut, karena apa yang mereka lakukan memperparah kondisi pendidikan di negeri yang kita cintai ini.

2.3 Bentuk Lunturnya Ideologi Pancasila
Di era globalisasi ini banyak nilai-nilai Pancasila yang begitu penting telah tergeser oleh nilai-nilai dan pola pikir kebaratan yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia yang ketimuran. Hal berakibat adanya krisis moral yang terjadi pada bangsa Indonesia diberbagai lapisan masyarakat, mulai dari para elite-elite politik hingga individu-individu. Selain itu hal ini merupakan ancaman bagi bangsa Indonesia untuk menjaga nilai-nilai Pancasila agar tidak tenggelam dengan selalu mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan kriminal seperti pengeboman, pemerkosaan, perampokan, pembunuhan, korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah menjadi masalah yang sering terjadi. Hal ini terjadi karena manusia telah melupakan hakekatnya sebagai makhluk yang berTuhan, makhluk sosial, dan makhluk pribadi sehingga tidak lagi menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi. Sifat dasar manusia yang serakah dan selalu ingin mendapatkan lebih adalah salah satu hal penyebabnya. Selain itu manusia tidak bisa mengendalikan sifat dasarnya yaitu menghalalkan segala cara hingga mengesampingkan bahkan menghilangkan etika dan moral kehidupan serta menyimpang dari norma Pancasila. Dari situlah awal mula masalah tersebut muncul. Kami meyakini bahwa selain faktor-faktor yang bersifat internal seperti yang diatas, ada peran dari faktor-faktor eksternal yang ikut menggeser dan ‘melunturkan’  nilai-nilai Pancasila, sebagai contoh adalah kehadiran internet. Di dalam internet terdapat berbagai macam informasi yang kita butuhkan apabila kita adalah seorang akademisi, akan tetapi di dalam internet pula banyak hal-hal negatif yang apabila kita tidak menjaga diri kita dari pengaruh buruk internet, maka akan terjadi suatu degradasi sosial dan degradasi moral karena kita tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Sehingga pada akhirnya masyarakat luas akan semakin melupakan jati dirinya sebagai warga Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan bukan tidak mungkin apabila kita tidak menjaga diri kita dari ancaman lunturnya nilai-nilai Pancasila di masyarakat, kita akan menjadi negara tanpa ciri-ciri khusus yang menunjukkan kita sebagai seorang warga negara Indonesia.
Bangsa Indonesia bertekad mengimplementasikan Pancasila untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Anak kalimat, memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial dalam Pembukaan UUD 1945, merupakan amanat bagi bangsa Indonesia dalam membangun perekonomian nasional, guna memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa Indonesia harus cerdas untuk mengolah sumber daya nasionalnya serta mengakses semua kemajuan dunia agar mampu menciptakan kesejahteraan  umum yang terus berkembang ke arah kemajuan. Usaha menyejahterakan dan mencerdaskan bangsa haruslah dilandasi lima faktor yakni : (1) Bebasnya bangsa Indonesia dari segala bentuk penjajahan, termasuk penjajahan ekonomi. (2) Secara politik dan keamanan nasional, bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia harus dilindungi dari segala bentuk gangguan dan ancaman. (3) Kecerdasan kehidupan bangsa, baik individu maupun masyarakat harus terwujud. (4) Aktivitas bangsa untuk ikut serta menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia. (5) Mengimplementasikan konsep, prinsip dan nilai Pancasila, sehingga keadilan sosial dapat terwujud.

1. Hilangnya manusia yang ber-“Ketuhanan Yang Maha Esa”
Dalam pemberitaan diberbagai media akhir-akhir ini kita sering dilihatkan dan dihadapkan kepada fakta bahwa banyak terjadi aksi-aksi anarkis yang ditujukan kepada suatu kelompok agama tertentu yang diduga dilakukan oleh suatu Ormas Keagamaan tertentu. Ini adalah adalah satu contoh dan bukti dari belum diimplementasikannya nilai-nilai sila pertama yang menjunjung kebebasan beragama bagi setiap warga Indonesia. Tindakan anarkis yang mengatasnamakan suatu agama tertentu dijadikan tameng untuk melawan aparat hukum dan mengahakimi suatu agama tertentu. Masyarakat Indonesia saat ini yang sudah berlabel modern sepertinya tidak lagi memakai cara pandang dari sisi keagamaan dengan benar. Masyarakat Indonesia saat ini yang sudah dikenal pintar sepertinya sudah tidak lagi memandang sila pertama yaitu “ Ketuhanan Yang Maha Esa “ sebagai salah satu acuan dalam menjalani kehidupan beragama di Indonesia melainkan hanya sebuah hafalan saat di SD.
Nilai-nilai kegamaan yang bersumber langsung dari Tuhan sejatinya adalah suatu kebenaran yang harus ditaati oleh setiap orang yang beragama dan dijadikan suatu ‘batas’ dan ‘pengingat’ saat melakukan suatu tindakan agar tidak melenceng dari norma dan nilai kebenaran.
Namun fakta yang sering dihadapkan kepada kita banyak yang memperlihatkan betapa rusaknya moral masyarakat Indonesia saat ini. Bahkan lunturnya nilai-nilai dari sila pertama ini sudah sampai kepada urusan pemerintahan dan ketatanegaraan. Aksi-aksi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) sepertinya sudah mendarah daging dan menjadi hal yang lumrah bagi para elite-elite politik, baik ditingkat terendah seperti desa hingga ke tingkat yang paling tinggi seperti jajaran wakil rakyat ( DPR ) dan pejabat-pejabat negeri. Hal ini tentu saja tidak akan terjadi apabila para pelaku KKN tersebut memiliki kesadaran dan modal yang berlandaskan kepada nilai-nilai keagamaan dan keimanan yang terkandung dalam sila pertama. Sebagai perbandingan, kita bisa melihat saat di era Orde Baru dimana pada saat itu masyarakat Indonesia bisa dengan tenang beragama selama apa yang mereka lakukan tidak mengganggu kenyamanan umum. Selain itu saat penentuan Hilal sebagai acuan umat Islam dalam menentukan Hari Raya Idul Fitri, tidak banyak perdebatan dan pertentangan antara kelompok Islam tertentu ( NU, Muhammadiyah dll ), hal ini membuktikan bahwa hari demi hari sejak Orde Baru hingga pasca Reformasi sekarang, nilai-nilai dari Pancasila semakin ditinggalkan.
Lunturnya nilai-nilai yang terkandung dalam sila pertama ini diperparah dengan adanya globalisasi yang hari demi hari semakin tidak ter-filter antara yang baik dan buruk. Misalnya saja, makin banyaknya tontonan di televisi yang mengajarkan kita kepada suatu sifat Hedonisme yang suka berfoya-foya dan berhura-hura, makin banyaknya tayangan televisi yang mengumbar bagian tubuh wanita dengan bebasnya, makin banyaknya acara televisi yang mengajarkan kita kepada suatu pola hidup yang sangat tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia. Baik secara langsung atau tidak langsung, efek buruk yang dihasilkan dari contoh tersebut akan memengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia agar berperilaku seperti apa yang ada di televisi tersebut. Efek buruk dari contoh diatas terbukti dengan meningkatnya aksi seks bebas yang dilakukan oleh para remaja dengan rentangan umur 15-23 tahun, meningkatnya pemakai narkoba di Indonesia yang didominasi oleh para remaja, dan meningkatnya aksi-aksi kriminalitas yang disebabkan pelaku merasa terprovokasi oleh apa yang ia lihat di televisi.
 Kemajuan teknologi sejatinya bisa memberikan kemudahan dan peningkatan mutu kehidupan siapapun yang menggunakan kemajuan teknologi tersebut, akan tetapi kemajuan teknologi ini pula yang bisa membawa manusia pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada khususnya lupa akan jati dirinya yang harus berpegang teguh atas nilai-nilai sila pertama, yaitu sebagai mahluk yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Langkanya “Kemanusiaan yang adil dan beradab”
Nilai-nilai yang terkandung dalam sila kedua ini kami jabarkan sebagai berikut :
1.            Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
2.            Saling mencintai sesama manusia.
3.            Mengembangkan sikap tenggang rasa.
4.            Tidak semena-mena terhadap orang lain.
5.            Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia.
6.            Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
7.            Menjaga sifat dan sikap Gotong Royong.
Nilai-nilai diatas apabila bisa dijalankan dan diimplementasikan sepenuhnya didalam kehidupan bermasyarakat kami yakin Indonesia akan menjadi sebuah bangsa yang memiliki tingkat kemiskinan rendah, sifat keramah-tamahan yang mendunia, sekaligus menjadi sebuah bangsa yang unik dimata dunia karena keadilan dan keberadabannya dalam kehidupan masyarakatnya tetap terjaga. Namun masih ingatkah pembaca dengan kejadian seorang nenek tua yang karena tekanan ekonomi yang dialaminya terpaksa memungut dua buah kakao yang ditemukannya di jalan lantas nenek tersebut dituntut dijatuhi hukuman di persidangan? Atau ingatkah pembaca tentang kejadian memalukan yang diperlihatkan oleh para elite politik yang menamai dirinya sebagai “Dewan Perwakilan Rakyat” saat berlangsungnya Sidang Paripurna terlibat aksi baku-hantam antar sesama anggota dewan lainnya? Dan ingatkah pembaca dengan tingkah salah satu anggota dewan saat acara Rapat Paripurna justru membuka situs porno? Semua contoh ini adalah bukti dari bergesernya nilai-nilai dari sila kedua.
Kemanusiaan yang adil dan beradab semakin jauh dari kata terwujud apabila kita melihat fakta-fakta yang terjadi di masyarakat. Dari sisi hukum kita dihadapkan kepada ketidakadilan hukum yang berlaku di Indonesia yang seperti ‘pisau’ tajam kebawah, akan tetapi tumpul keatas. Hal ini terbukti dengan banyaknya para pelaku korupsi yang merampok milyaran bahkan trilyunan uang rakyat yang hanya dihukum kurang dari lima tahun penjara. Sebagai contoh adalah Anggodo Widjojo yang terbukti merekayasa kriminaslisasi dua anggota KPK masih bisa bebas seakan tidak terjerat oleh hukum. Tentu saja ini sangat berlawanan dengan kisah seorang nenek yang bernama Minah yang secara terpaksa memungut dua buah kakao seharga Rp. 2100 yang ditemukannya dijalan untuk dimakan oleh dirinya yang saat itu kelaparan, akan tetapi ia harus menjalani hukuman penjara selama 1.5 tahun dengan masa percobaan selama 3 bulan. Selain itu masih ingatkah pembaca dengan kejadian memalukan yang terjadi saat sidang Paripurna terkait masalah Bank Century beberapa anggota dewan yang terhormat terlibat aksi baku hantam? Hal ini salah satu bukti bahwa keberadaban yang terdapat di sila kedua belum sepenuhnya terlaksana.

3. Retaknya “Persatuan Indonesia”
Indonesia adalah negara kepulauan dengan jajaran pulau-pulaunya yang berjumlah lebih dari 17.560 pulau. Para Founding Father kita dengan susah payah berusaha untuk mempersatukan seluruh kepulauan bekas jajahan untuk bersatu menjadi suatu negara yang disebut Indonesia. Kita sebagai generasi penerus haruslah bisa menjaga harta warisan dari generasi sebelumnya dengan sebaik mungkin. Selain itu, hal ini sudah tentu menjadi tugas wajib pemerintah untuk memerhatikan kesejahterahan rakyatnya dimanapun mereka tinggal. Namun, sudahkah hal ini dilakukan oleh pemerintah? Kita bisa melihat bahwa di Pulau Jawa kemajuan teknologi, transportasi, telekomunikasi, akses pendidikan dan kesehatan sudah sangat maju dan mudah didapatkan, hal ini sangat kontradiksi dengan keadaan yang terjadi di pulau-pulau yang jauh dari Ibukota Jakarta, misalnya saja pulau Papua. Papua adalah pulau yang  memiliki berbagai kekayaan alam yang melimpah, akan tetapi pemerintah seakan menutup mata terhadap kondisi yang dihadapi oleh masyarakat lokal Papua. Pemerintah justru cenderung memanfaatkan situasi sulit yang dihadapi oleh masyarakat Papua untuk menjual berbagai macam aset milik masyarakat Papua seperti tambang emas kepada PT. Freeport. Hal ini bisa saja menjadi salah satu alasan dari retaknya “Persatuan Indonesia” karena masyarakat lokal merasa di “anak tirikan” oleh pemerintah. Sebagai contoh, di Papua terdapat organisasi separatisme bernama OPM (Organisasi Papua Merdeka), di Maluku terdapat organisasi separatisme bernama RMS (Republik Maluku Serikat), dan sebagai pengingat di Aceh ada GAM (Gerakan Aceh Merdeka), akan tetapi antara pihak GAM dan pemerintah sudah setuju untuk berdamai berdasarkan hasil konferensi di Den Haag Belanda. Dengan adanya gerakan separatisme dari beberbagai daerah seperti contoh diatas, hal ini menandakan bahwa adanya rasa kekecewaan dari masyarakat yang merasa “dilupakan” oleh pemerintah dalam segi kehidupan seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan berbagai macam sarana penunjang kemajuan daerahnya. Kekecewaan masyarakat ini ditunjukkan dengan aksi-aksi pengibaran bendera dari organisasi separatisme mereka sebagai penanda bahwa mereka ingin melepaskan diri dari Republik Indonesia, inilah salah satu bukti dari Retaknya “Persatuan Indonesia”.
Selain itu, kami memberikan contoh dari sisi yang berbeda atas lunturnya nilai-nilai sila ketiga. Misalnya saja dari sisi sesama individu dalam hal olahraga, kita sering mendengar terjadinya kerusuhan antar suporter yang terjadi seusai tim kesayangannya berlaga, hal ini menandakan bahwa mereka tidak memilik rasa persatuan sebagai sesama warga negara Indonesia dan tidak memiliki semangat untuk memajukan persepakbolaan di Indonesia. Dalam hal ini kami mempercayai bahwa ada pengaruh negatif yang secara tidak langsung diberikan dari para politic figure yang mengurusi PSSI. Para pecinta sepak bola tanah air baik secara langsung atau tidak langsung terpengaruh dari situasi politik yang memanas didalam tubuh PSSI, dan hal ini berujung dengan dibuatnya dua laga kompetisi yang berbeda dibawah PSSI yaitu , ISL (Indonesia Super League) dengan IPL (Indonesia Premier League).
Pada dasarnya perbedaan makna dari persatuan dan kesatuan adalah, persatuan adalah konsep awal yang dibuat oleh para Founding Father sebelum Indonesia merdeka, dengan asumsi bahwa semua ras, agama, etnis, suku bangsa, dan bahasa yang terdapat di Indonesia harus bisa bersatu dahulu sebelum menjadi sebuah kesatuan. Sedangkan makna dari kesatuan adalah, seluruh perbedaan primordial yang ada di Indonesia sudah bersatu dan melebur menjadi satu jati diri dan menjadi satu bangsa dan negara yaitu Indonesia tanpa harus menghilangkan ciri khas dari masing-masing kriteria primordial tersebut.
Pemerintah tidak bisa menutup mata lagi terhadap kondisi rakyatnya yang berada di pulau-pulau terluar dari batas wilayah Indonesia dan daerah-daerah perbatasan, karena mereka pada dasarnya mengakui bahwa mereka adalah warga negara Indonesia yang rela berkorban hidup dalam segala keterbatasan yang ada, dan selalu setia untuk mengibarkan bendera merah putih di daerahnya. Apakah pemerintah masih bisa untuk mengutamakan pembangunan di daerah perkotaan? Apakah pemerintah masih bisa untuk mengutamakan jaminan kesehatan, pendidikan, transportasi hanya untuk daerah perkotaan? Sedangkan di satu sisi, banyak warga negaranya yang dengan setia, rela berkorban, dan tanpa pamrih bersedia untuk hidup dibawah garis kemiskinan sekaligus mengakui bahwa mereka adalah warga negara Indonesia. Apabila pemerintah masih bersikap acuh tak acuh, maka bukan tidak mungkin dalam 30-40 tahun kemudian akan banyak organisasi-organisasi separatisme akan bermunculan di berbagai daerah dengan tujuan yang sama yaitu untuk melepaskan diri dari Republik Indonesia.

4.      Tidak adanya “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”
Pemimpin yang amanah, adil, bertanggung jawab, dan bijaksana adalah sosok ideal dari seorang pemimpin suatu bangsa. Pemimpin dengan kriteria semacam ini peluang keberhasilannya dalam memimpin suatu organisasi atau negara akan lebih besar, terlebih apabila pemimpin semacam ini mengedepankan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Indonesia yang sejak merdeka pada tahun 1945 sudah mengalami pergantian presiden sebanyak enam kali dimana presiden terakhir adalah Susilo Bambang Yudhoyono sudah menjadi presiden dalam dua periode kepresidenan. Namun sudahkah rakyat Indonesia saat ini benar-benar dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan dan perwakilan?
            Apabila kita melihat dari fakta dan kenyataan yang ada di masyarakat, mungkin Indonesia bisa dikatakan masih belum sepenuhnya menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila keempat. Hal ini bisa dilihat dari hasil-hasil sidang, rapat, atau berbagai pertemuan para elite politik dimana kebanyakan tidak menghasilkan sesuatu hal yang secara konkrit memihak rakyat. Sebagai contoh, masih ingatkah pembaca dengan kelakuan para petinggi elite politik saat isu kenaikan harga bahan bakar di awal bulan April kemarin? Dalam sidang tersebut terlihat jelas bahwa para elite politik tidak sepenuhnya memihak kepada rakyat dan terkesan ragu-ragu dalam mengambil keputusan yang berani dan memihak kepada rakyat. Perlu kami tambahkan bahwa para wakil rakyat sekarang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadinya dibandingkan dengan kepentingan rakyat, dengan asumsi bahwa kesempatan untuk memperkaya diri sendiri selama menjabat menjadi anggota dewan atau wakil rakyat tidak datang dua kali. Tentu hal ini bisa dikatakan adalah suatu tindakan yang menciderai hati rakyat dan menodai nilai-nilai Pancasila. Para pemimpin sekarang lebih menyukai untuk memaksakan kehendak daripada bersikap sabar dalam mengambil keputusan demi kepentingan rakyat Indonesia. Hal ini diperparah dengan metode yang dipakai para anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam menentukan suatu keputusan, mereka lebih menyukai cara pengambilan keputusan dengan Voting. Voting adalah cara menentukan keputusan yang paling buruk, karena voting tidak mengedepankan pemikiran rasional melainkan tergantung dari jumlah suara terbanyak. Kami berpendapat bahwa seharusnya apabila kita menelaah lebih dalam dari nilai Pancasila khususnya sila keempat, Indonesia memiliki suatu cara khusus dalam menyatukan suara dan memutuskan suatu permasalahan yaitu dengan cara musyawarah. Hasil musyawarah tidak akan tercapai apabila belum tercapainya kesepakatan bersama, dengan metode ini maka tidak akan ada perasaan dari masing-masing anggota yang merasa tersakiti saat hasil musyawarah ditetapkan.
Pancasila sebagai dasar negara dan landasan idiil bangsa Indonesia, dewasa ini pada zaman reformasi saat ini pengimplementasian Pancasila sangat dibutuhkan oleh masyarakat, karena di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Selain itu, pada era globalisasi ini begitu cepat mempengaruhi negara-negara di seluruh dunia termasuk Indonesia. Gelombang demokratisasi, hak asasi manusia, neo-liberalisme, serta neo-konservatisme dan globalisme bahkan telah memasuki cara pandang dan cara berfikir masyarakat Indonesia. Hal demikian bisa melunturkan Pancasila dan dapat menghadirkan sistem nilai dan idealisme baru yang bertentangan dengan kepribadian bangsa.
Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar negara, merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni pemerintah, wilayah dan rakyat. Pancasila sebagai dasar negara mempunyai arti menjadikan Pancasila sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Hal ini menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang berarti melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah seharusnya semua peraturan perundang-undangan di negara Republik  Indonesia bersumber pada Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara Republik  Indonesia mempunyai implikasi bahwa Pancasila terikat oleh suatu kekuatan secara hukum, terikat oleh struktur kekuasaan secara formal, dan meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum yang menguasai dasar negara (Suhadi, 1998).

5.      Mimpi Indonesia tentang “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Kondisi Indonesia saat ini masih jauh dari kata sejahtera, hal ini bisa dilihat dari berbagai macam indikator, misalnya dengan melihat masih banyaknya rakyat miskin diberbagai daerah diseluruh Indonesia. Tingkat kemiskinan di Indonesia sangat tinggi, data terakhir yang dikeluarkan pemerintah pada tahun 2011 menunjukkan angka sebesar 17.7 juta orang masih hidup dibawah garis kemiskinan Indonesia. Selain itu dari bidang kesehatan pun masyarakat miskin di Indonesia seperti melihat jarak atau gap yang jauh antara mereka dengan masyarakat yang mampu. Jaminan kesehatan yang seharusnya berhak dimiliki oleh semua rakyat Indonesia pada kenyataannya tidak berjalan dengan semestinya. Selain itu dari sisi pendidikan, mayoritas mereka yang mengenyam pendidikan dengan fasilitas baik infrastruktur dan intrastruktur yang layak adalah mereka yang mampu dalam segi ekonomi atau dengan kata lain hidup diatas garis kemiskinan di Indonesia. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan bunyi dari sila kelima yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Jika kita melihat dari sudut pandang antar daerah pun, kita akan dihadapkan pada kenyataan atas ketimpangan dalam hal pembangunan yang terjadi. Daerah kota seperti lebih diistimewakan oleh pemerintah dalam hal pembangunan, sedangkan daerah-daerah yang jauh dari keramaian kota seakan-akan dilupakan dan pemerintah bagai menutup mata. Ketimpangan sosial di tingkat antar daerah banyak terjadi, hal ini terlihat jelas dari perkembangan ekonomi di daerah tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Lunturnya nilai-nilai Pancasila dalam masyarakat tidak lebih sebagai dampak dari majunya arus informasi yang tanpa sekat dan aling-aling dengan memasukkan nilai-nilai dan budaya yang begitu bebas sehingga sangat mudah untuk mempengaruhi kondisi bangsa khususnya para pemuda. Sebagai langkah solutif dalam mencegah rusaknya moral bangsa dan rakyat Indonesia. Perlu adanya kerjasama antara para stake holder, penegak hukum, politisi dan seluruh elemen masyarakat bangsa ini sehingga kerjasama yang dilakukan akan melahirkan counter sosial dan budaya yang tidak diinginkan dengan memproteksi bangsa ini dari nilai-nilai kebudayaan luar justru menjauhkan diri dan merusak moral-moral generasi Bangsa.
Dalam era terbuka ini negara Indonesia tidak bisa menghindari akan adanya tantangan globalisasi, Indonesia harus tetap siap menghadapinya dan melakukan preventisasi budaya Hedonis, Egois, Oportunis, dan budaya-budaya luar lainnya yang masuk  dengan dan harus mulai memformat ulang dengan menjadikan Pancasila sebagai pedoman dalam menghadapi globalisasi bangsa agar nilai-nilai Pancasila yang kini mulai redup, akan kembali hidup dalam diri masyarakatnya.

3.2 Saran
1.        Sebaiknya kerjasama semua elemen masyarakat untuk menjaga nilai-nilai Pancasila tetap hidup sangat perlu dilakukan untuk membuat Pancasila tetap menjadi sebuah ideologi yang utuh di negerinya sendiri.








DAFTAR PUSTAKA


Amalia, Nitya. 2013. Lunturnya Nilai-Nilai Pancasila, (Online), (http://hi-undip.blogspot.com/2013/09/lunturnya-nilai-nilai-pancasila-dalam.html), diakses 2 April 2014.
Lestari, Ageng. 2013. Mulai Lunturnya Ideologi Pancasila, (Online), (http://ceritasenj.blogspot.com/2013/12/mulai-lunturnya-ideologi-pancasila.html), diakses 3 April 2014.
Ningsih, Chayu. 2012. Lunturnya Ideologi Pancasila Dalam era Globalisasi, (Online), (http://chayu-21.blogspot.com/2012/06/lunturnya-ideologi-pancasila-dalam-era.html), diakses 2 April 2014.
Sadulur, Jejak. 2012. Lunturnya NIlai Pancasila, (Online), (http://kaluargi.blogspot.com/2012/06/lunturnya-nilai-pancasila.html), diakses 3 April 2014.
Sativani, Riza. 2010. Lunturnya Nilai Pancasila, (Online), (http://oryza-sativa135rsh.blogspot.com/2010/01/lunturnya-nilai-pancasila-dampak.html), diakses 2 April 2014.


1 komentar: