BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pancasila
merupakan ideologi bangsa Indonesia yang dalam perumusan dan penyusunannya
banyak melakukan perundingan-perundingan yang melibatkan banyak pihak sehingga
menghasilkan butir-butir Pancasila. Butir-butir Pancasila tersebut adalah hasil
musyawarah bersama yang dibuat dengan tujuan agar dapat menjadi pedoman bagi
masyarakat Indonesia dalam menjalankan hidup berbangsa dan bernegara. Pancasila
juga merupakan sendi, asas, dasar atau peraturan tingkah laku yang penting dan
baik. Secara singkat dapat diuraikan bahwa kedudukan Pancasila adalah sebagai
dasar Negara RI. Untuk mengatur pemerintahan dan penyelenggaraan negara,
sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia.
Remaja
merupakan calon penerus bangsa yang diharapkan dapat membangun dan memajukan
bangsa dengan menerapkan nila-nilai dalam Pancasila. Namun, dalam perjalanannya
arus globalisasi yang masuk ke Indonesia berdampak pada pola pikir dan gaya
hidup remaja. Sering kali remaja terkait dalam persoalan kerusuhan tak sedikit
pula yang menjadi provokator dalam aksi-aksi kerusuhan. Bukan berbicara yang
penting namun terbalik faktanya yang penting berbicara dan berorasi tanpa
mengetahui dasar hukumnya, aksi-aksi anarki dan serangkaian perilaku yang tidak
mencerminkan orang terdidik. Padahal didalam butir-butir Pancasila yang telah
disusun sedemikian rupa terdapat nilai-nilai budi pekerti yang diharapkan dapat
memacu remaja untuk berprestasi, berkreasi dan memaknai Pancasila sebagai
sebuah pondasi yang terinternalisasi kedalam jiwa dan perilaku mereka sehingga
bisa meminimalisir kenakalan remaja yang tidak diinginkan oleh para
pejuang-pejuang dahulu kala.
Besar
harapan founding father (penggagas
bangsa Indonesia) dalam memerdekakan bangsa ini seharusnya ada nilai tersendiri
yang bisa dipetik oleh generasi penerusnya bukan malah sebaliknya. Kita sadar
dan tahu bahwa masa depan sebuah bangsa ditentukan oleh anak bangsa itu sendiri
dalam hal ini generasi muda sebagai pewaris negeri pelanjut sejarah. Jika ternyata
generasi bangsa mengalami degradasi moral, tak diragukan lagi bahwa
generasi mudanya hancur begitu pula dengan masa depan bangsa itu, sebaliknya
kalau bagus generasi mudanya, prestatif usahanya, kreatif pikirannya dan
bermoral tingkah lakunya, maka cemerlang pula masa depan bangsa tersebut.
Indonesia
sebagai sebuah negeri hasil jerih payah generasi terdahulu dengan perang fisik
antara leluhur dan pejuang bangsa kita melawan penjajah, bagaimana merebutnya,
bahkan harta, darah dan nyawa telah disumbangkan demi eksisnya bangsa Indonesia,
tapi sayang mayoritas anak bangsa ini justru membuat redupnya harapan masa
depan, dilihat dari pembangunan moral
yang terkondisikan dengan berbangga-bangga berbuat maksiat, anak bangsa yang
jadi pejabat menghiasi dirinya dengan korupsi dan manipulasi, anak bangsa yang
jadi pedagang menari meraup keuntungan dengan merekayasa timbangan, anak bangsa
yang jadi selebritis dengan ringannya berbuat seks bebas dan berusaha di
publikasikan supaya menjadi konsumsi anak bangsa yang lainnya, dilihat juga dunia
pelajar, remaja dan pemuda malah asik tawuran, mabuk-mabukan, geng motor yang
anarkis, bahkan kalangan penegak hukum seperti polisi, jaksa dan
pengacara menjadi terpidana dan penjahat kejaran hukum. Hal ini tidak
lepas dari pragmatisme dan hedonisme yang telah merasuk kedalam jiwa mereka.
Mereka ingin semuanya serba cepat, instan dan mudah untuk meraihnya. Hal itu
adalah masalah masa kini yang dapat melunturkan nilai-nilai ideologi Pancasila
yang seharusnya dijaga oleh segenap bangsa.
1.2
Rumusan Masalah
- Bagaimana
sejarah Pancasila dan siapakah yang berperan didalamnya?
- Apa
penyebab lunturnya nilai-nilai Pancasila?
- Bagaimanakah bentuk lunturnya ideologi Pancasila?
- Bagaimana
peran Pancasila dalam memfilter arus globalisasi?
1.3
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
- Mendeskripsikan proses terbentuknya
Pancasila, cita-cita dilahirkannya dan para founding father yang terlibat didalamnya.
- Mendeskripsikan
sejauh mana isme-isme yang telah masuk kedalam bangsa ini dan
mempengaruhi masyarakat bangsa ini.
- Mendeskripsikan
bentuk lunturnya ideologi Pancasila.
- Mendeskripsikan
peran Pancasila memfilter arus globalisasi yang masuk ke Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
Pancasila
Kemerdekaan
bangsa Indonesia pertama kali diumumkan oleh Pemerintah Militer di Indonesia
pada tanggal 17 September 1944 oleh perdana Menteri Koyso, bahwa dalam waktu
dekat akan dibentuk suatu badan yang bertugas mempelajari langkah-langkah mana
yang perlu diambil sebagai persiapan kemerdekaan. Oleh karena terus menerus
terdesak, maka pada tanggal 29 April 1945 Jepang memberikan janji kemerdekaan
yang kedua kepada bangsa Indonesia, yaitu janji kemerdekaan tanpa syarat yang
dituangkan dalam Maklumat Gunseikan (Pembesar Tertinggi Sipil dari Pemerintah
Militer Jepang di Jawa dan Madura).
Dalam
maklumat itu sekaligus dimuat dasar pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tugas badan ini adalah menyelidiki
dan mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya dikemukakan kepada pemerintah
Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia.
Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 28
Mei 1945 telah dilantik resmi oleh badan yang diketuai oleh seorang Jepang,
akan tetapi kenyataannya dipimpin secara bergiliran oleh dua orang ketua muda,
yaitu Dr. Rajiman Wediodinigrat dan R.P. Suroso. Pada mulanya anggotanya hanya
berjumlah 63 orang. Badan ini mengadakan dua kali sidang yang pertama kali pada
tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni dan yang kedua pada tanggal 10-17 Juli
1945.
Dalam
sidang pertama ini yang dibicarakan khusus mengenai calon dasar negara untuk
Indonesia merdeka nanti. Pada sidang pertama itu, banyak anggota yang berbicara,
dua diantaranya adalah Muhammad Yamin dan Bung Karno, yang masing-masing
mengusulkan calon dasar negara untuk Indonesia merdeka.
Muhammad
Yamin mengajukan usul mengenai dasar negara secara lisan yang terdiri atas lima
hal, yaitu:
1.
Peri Kebangsaan
2.
Peri Kemanusiaan
3.
Peri Ketuhanan
4.
Peri Kerakyatan
5.
Kesejahteraan Rakyat
Selain itu
Muhammad Yamin juga mengajukan usul secara tertulis yang juga. Terdiri atas
lima hal, yaitu:
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa
2.
Persatuan Indonesia
3.
Rasa Kemanusiaan Yang Adil
dan Beradab
4.
Kerakyatan yang Dipimpin
oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5.
Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia
Usulan ini
diajukan pada tanggal 29 Mei 1945, kemudian pada tanggal 1 Juni 1945, Bung
Karno mengajukan usul mengenai calon dasar negara yang terdiri atas lima hal,
yaitu:
1.
Nasionalisme (Kebangsaan
Indonesia)
2.
Internasionalisme
(Perikemanusiaan)
3.
Mufakat atau Demokrasi
4.
Kesejahteraan Sosial
5.
Ketuhanan yang Berkebudayaan
Kelima hal
ini oleh Bung Karno diberi nama Pancasila. Lebih lanjut Bung Karno mengemukakan
bahwa kelima sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila, yaitu: 1.
Sosio nasionalisme 2. Sosio demokrasi 3. Ketuhanan.
Selesai
sidang pertama, pada tanggal 1 Juni 1945 para anggota BPUPKI sepakat untuk
membentuk sebuah panitia kecil yang tugasnya adalah menampung usul-usul yang
masuk dan memeriksanya serta melaporkan kepada sidang pleno BPUPKI. Tiap-tiap
anggota diberi kesempatan mengajukan usul secara tertulis paling lambat sampai
dengan tanggal 20 Juni 1945. Adapun anggota panitia kecil ini terdiri atas
delapan orang, yaitu: 1. Ir. Soekarno 2. Ki Bagus Hadikusumo 3. K.H.
Wachid Hasjim 4. Mr. Muh. Yamin 5. M. Sutardjo Kartohadikusumo 6. Mr. A.A.
Maramis 7. R. Otto Iskandar Dinata 8. Drs. Muh. Hatta
Pada
tanggal 22 Juni 1945 diadakan rapat gabungan antara Panitia Kecil, dengan para
anggota BPUPKI yang berdomisili di Jakarta. Hasil yang dicapai antara lain
disetujuinya dibentuk sebuah Panitia Kecil Penyelidik Usul-Usul/Perumus Dasar
Negara, yang terdiri atas sembilan orang, yaitu: 1. Ir. Soekarno 2. Drs. Muh.
Hatta 3. Mr. A.A. Maramis 4. K.H. Wachid Hasyim 5. Abdul Kahar Muzakkir 6.
Abikusno Tjokrosujoso 7. H. Agus Salim 8. Mr. Ahmad Subardjo 9. Mr. Muh. Yamin.
Panitia
Kecil yang beranggotakan sembilan orang ini pada tanggal itu juga melanjutkan
sidang dan berhasil merumuskan calon Mukadimah Hukum Dasar, yang kemudian lebih
dikenal dengan sebutan “Piagam Jakarta”.
Dalam sidang
BPUPKI kedua, tanggal 10-16 Juli 1945, hasil yang dicapai adalah merumuskan
rancangan Hukum Dasar. Sejarah berjalan terus. Pada tanggal 9 Agustus dibentuk
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 15 Agustus 1945
Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, dan sejak saat itu Indonesia kosong
dari kekuasaan. Keadaan tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para
pemimpin bangsa Indonesia, yaitu dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia,
pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan PPKI
mengadakan sidang, dengan acara utama:
(1) mengesahkan rancangan Hukum Dasar dengan preambulnya
(Pembukaannya)
(2) memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Untuk
pengesahan Preambul, terjadi proses yang cukup panjang. Sebelum mengesahkan
Preambul, Bung Hatta terlebih dahulu mengemukakan bahwa pada tanggal 17 Agustus
1945 sore hari, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan, ada utusan dari Indonesia
bagian Timur yang menemuinya.
Intinya,
rakyat Indonesia bagian Timur mengusulkan agar pada alinea keempat preambul, di
belakang kata “ketuhanan” yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Jika tidak maka rakyat Indonesia bagian
Timur lebih baik memisahkan diri dari negara RI yang baru saja diproklamasikan.
Usul ini oleh Muh. Hatta disampaikan kepada sidang pleno PPKI, khususnya kepada
para anggota tokoh-tokoh Islam, antara lain kepada Ki Bagus Hadikusumo, KH.
Wakhid Hasyim dan Teuku Muh. Hasan. Muh. Hatta berusaha meyakinkan tokoh-tokoh
Islam, demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Oleh karena
pendekatan yang terus-menerus dan demi persatuan dan kesatuan, mengingat
Indonesia baru saja merdeka, akhirnya tokoh-tokoh Islam itu merelakan
dicoretnya “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
di belakang kata Ketuhanan dan diganti dengan “Yang Maha Esa”.
Sekilas
potret dan sejarah terbentuknya Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa
Indonesia adalah sebagai bahan reflektif bagi para pemuda dan masyarakat bangsa
Indonesia bahwa sebenarnya tidak semudah membalik telapak tangan, butuh
orang-orang yang berjiwa besar yang berjiwa Indonesia untuk menyatukan dan
menciptakan pandangan hidup ini sehingga melahirkan tatanan masyarakat yang
damai dan makmur hidup berdampingan satu sama lain dengan menganggap bahwa
perbedaan sebagai sebuah anugrah yang harus dijaga dan dipertahankan sampai
akhir hayat sehingga dengan seperti itu Indonesia mampu melindungi dan
menghargai satu sama lain demi terwujudnya cita-cita bersama yaitu masyarakat
mandiri, berdikari dan makmur yang disegani dan dihargai dimata dunia.
2.2
Isme-Isme Penyebab Lunturnya Ideologi Pancasila
Jika
dibandingkan pemahaman masyarakat tentang Pancasila dengan lima belas tahun
yang lalu, sudah sangat berbeda, saat ini sebagian masyarakat cenderung
menganggap Pancasila hanya sebagai suatu simbol negara dan mulai melupakan
nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya. Padahal Pancasila yang
menjadi dasar negara dan sumber dari segala hukum dan perundang-undangan adalah
nafas bagi eksistensi bangsa Indonesia. Sementara itu, lunturnya nilai-nilai
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, akibat tidak
satunya kata dan perbuatan para pemimpin bangsa, Pancasila hanya dijadikan
slogan di bibir para pemimpin, tetapi berbagai tindak dan perilakunya justru
jauh dari nilai-nilai luhur Pancasila. Contoh yang tidak baik dari para
pemimpin bangsa dalam pengamalan Pancasila telah menjalar pada lunturnya
nilai-nilai Pancasila di masyarakat.
Kurangnya
komitmen dan tanggung jawab para pemimpin bangsa melaksanakan nilai-nilai
Pancasila tersebut, telah mendorong munculnya kekuatan baru yang tidak melihat
Pancasila sebagai falsafah dan pegangan hidup bangsa Indonesia. Akibatnya,
terjadilah kekacauan dalam tatanan kehidupan berbangsa, di mana kelompok
tertentu menganggap nilai-nilainya yang paling bagus. Lunturnya nilai-nilai
Pancasila pada sebagian masyarakat dapat berarti awal sebuah malapetaka bagi
bangsa dan negara kita. Fenomena itu sudah bisa kita saksikan dengan mulai
terjadinya kemerosotan moral, mental dan etika dalam bermasyarakat dan
berbangsa terutama pada generasi muda. Timbulnya persepsi yang dangkal, wawasan
yang sempit, perbedaan pendapat yang berujung bermusuhan dan bukan mencari
solusi untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, anti terhadap kritik
serta sulit menerima perubahan yang pada akhirnya cenderung mengundang tindak
anarkhis.
Adapun Isme-isme (Paham-paham)
yang telah mengikis perlahan-lahan nilai-nilai yang termaktub dalam pancasila
diantaranya adalah:
1. Fanatisme
Fanatisme
adalah suatu keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu, yang positif atau
yang negatif, pandangan yang tidak memiliki sandaran teori atau pijakan
kenyataan, tetapi dianut secara mendalam sehingga susah diluruskan atau diubah.
Menurut definisinya, Fanatisme biasanya tidak rasional atau keyakinan seseorang
yang terlalu kuat dan kurang menggunakan akal budi sehingga tidak menerima faham
yang lain dan bertujuan untuk mengejar sesuatu. Adanya fanatisme dapat
menimbulkan perilaku agresi dan sekaligus memperkuat keadaan individu yang
mengalami deindividuasi untuk lebih tidak terkontrol perilakunya.
Fanatisme
dipandang sebagai penyebab menguatnya perilaku kelompok yang tidak jarang dapat
menimbulkan perilaku agresi. Individu yang fanatik akan cenderung kurang
memperhatikan kesadaran sehingga seringkali perilakunya kurang terkontrol dan
tidak rasional.
Pengertian
Fanatisme sendiri dapat disebut sebagai orientasi dan sentimen yang
mempengaruhi seseorang dalam : (a) berbuat sesuatu, menempuh sesuatu atau
memberi sesuatu, (b) dalam berfikir dan memutuskan, (c) dalam mempersepsi dan
memahami sesuatu, dan (d) dalam merasa secara psikologis, seseorang yang
fanatik biasanya tidak mampu memahami apa-apa yang ada di luar dirinya, tidak
faham terhadap masalah orang atau kelompok lain, tidak mengerti faham atau
filsafat selain yang mereka yakini.
Ciri-ciri yang jelas dari
sifat fanatik adalah ketidak mampuan memahami karakteristik individual orang
lain yang berada diluar kelompoknya, benar atau salah. Secara garis besar
fanatisme mengambil bentuk : (a) fanatik warna kulit, (b) fanatik
etnik/kesukuan, dan (c) fanatik klas sosial. Fanatik Agama sebenarnya bukan
bersumber dari agama itu sendiri, tetapi biasanya merupakan kepanjangan dari
fanatik etnik atau klas sosial.
Fanatisme
yang berlebihan dalam berbagai aspek kehidupan baik Agama, suku, ras, dan juga
golongan akan melahirkan suatu sikap yang berlebihan sehingga mereka akan
berbuat sesuka hatinya karena beranggapan bahwa orang diluar pemahaman dirinya
adalah salah dan keliru. Fanatisme inilah yang kemudian melunturkan nilai-nilai
kesatuan dalam perbedaan yang tertera didalam nilai falsafah bangsa ini. Fanatisme
dalam Agama yang berlebihan misalnya, dia akan menganggap bahwa agama lain
adalah salah sehingga mereka boleh diperlakukan bagaimanapun dengan dalil-dalil
yang mereka tafsiri semaunya sendiri, sehingga tidak jarang banyak konflik
antar agama yang terjadi di Indonesia disebabkan karena mereka memahami
agamanya terlalu dangkal dengan menafikan agama lain yang ada di lingkungannya,
mereka sudah tidak berfikiran bahwa mereka hidup dalam dunia majemuk dan
mulkutural yang terdiri dari berbagai macam agama yang diakui oleh negara
dimana memiliki hak yang sama dan merata untuk tinggal dan berdampingan satu
sama lainnya. Bahkan fanatisme bukan hanya terjadi dan lahir dari hal-hal yang
natural yang ada pada diri kita, tapi juga pada produk-produk yang dia sukai,
bagaimana misalnya orang-orang yang fanatik terhadap sistem operasi, fanatik
terhadap style, ada juga yang fanatik dengan idola yang dipujanya. Sebagian
lain fanatik terhadap ideologi baru yang dianutnya.
Fanatik itu
sungguh luar biasa. Kadang orang rela mati, bersitegang dengan apa yang menjadi
fanatiknya. Contohnya adalah Harley
Davidson, mereka yang fanatik terhadap motor gede itu bahkan rela mentato
tubuhnya dengan slogan-slogan, logo, dan nama Harley. Fanatik lain misalnya fanatisme supporter terhadap salah
satu klub sepak bola.
Fanatik
boleh dan sah-sah saja, namun bilamana fanatik ini masuk pada wilayah fanatisme
yang berlebihan sehingga mengganggu pada keutuhan bangsa dan meruncingnya
problem ditengah-tengah masyarakat yang majemuk ini, tentunya sebagai
masyarakat Indonesia yang sadar akan keberagaman bangsa ini, kita akan berupaya
untuk mengurangi dan mengikis sedikit demi sedikit agar tidak menjadi problem
bangsa baru yang hadir di bumi pertiwi yang kita cintai ini.
2. Egoisme
Istilah
"egoisme" berasal dari bahasa Yunani yakni ego yang
berarti "Diri" atau "Saya", dan -isme,
yang digunakan untuk menunjukkan filsafat. Dengan demikian, istilah ini
etimologis berhubungan sangat erat dengan egoisme.
Egoisme
merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya
menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah satu
tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang
dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Istilah lainnya adalah
"egois". Lawan dari egoisme adalah altruisme.
Hal ini
berkaitan erat dengan narsisme, atau
"mencintai diri sendiri," dan kecenderungan mungkin untuk berbicara
atau menulis tentang diri sendiri dengan rasa sombong dan panjang lebar.
Egoisme dapat hidup berdampingan dengan kepentingannya sendiri, bahkan pada
saat penolakan orang lain. Sombong adalah
sifat yang menggambarkan karakter seseorang yang bertindak untuk
memperoleh nilai dalam jumlah yang lebih banyak
daripada yang ia memberikan kepada orang lain. Egoisme sering dilakukan dengan
memanfaat kanaltruisme, irasionalitas dan
kebodohan orang lain, serta memanfaatkan kekuatan diri sendiri dan / atau
kecerdikan untuk menipu.
Egoisme
berbeda dari altruisme, atau bertindak untuk mendapatkan nilai kurang dari yang
diberikan, dan egoisme, keyakinan bahwa nilai-nilai lebih didapatkan dari yang
boleh diberikan. Berbagai bentuk "egoisme empiris" bisa sama dengan
egoisme, selama nilai manfaat individu diri sendirinya masih dianggap sempurna.
Egoisme personal
mungkin masih bisa ditolerir ketika bentuknya positif misalnya belajar yang
berlebihan dan lain sebagainya. Namun kalau egoisme negative yang merugikan
orang lain tidak bisa dipertahankan bahkan harus dikikis karena justru akan
berakibat merugikan orang lain. Begitu pula egoisme kelompok, justru itu yang
sangat berbahaya karena justru merusak sendi-sendi keragaman bangsa, Egoisme
juga akan melahirkan sifat penindasan yang kuat kepada yang lemah.
Egoisme
dalam berbagai aspek hampir sama dengan fanatisme, bisa terjadi pada Agama,
Suku, Ras dan lain sebagainya. Egoisme agama misalnya, agama A menindas agama B
dengan bentuk pelarangan mendirikan tempat beribadah pada agama B disekitar
lingkungannya, padahal B dalam poses pendirian tempat ibadahnya tidak melanggar
secara hukum baik hukum agama A karena tidak melakukan perampasan dan hal-hal
yang berbau kecurangan maupun lainnya yang merugikan agama A, dan juga hukum
positif Negara Indonesia karena secara administrative pendirian bangunannya
sudah mendapatkan ijin dari pihak-pihak yang berwenang, bahkan tempat ibadah
yang akan dibangun tersebut berada di lingkungan dan komunitasnya agama B.
Nilai luhur
Pancasila mengajarkan kepada kita semua untuk bisa hidup damai dan berdampingan
dengan siapapun yang ada di bumi Indonesia, mengedepankan kepentingan bersama
daripada kepentingan pribadi, mengutamakan musyawarah mufakat daripada
keputusan individual dan tentunya lebih mengutamakan hidup bersama dengan baik
dengan orang yang ada dilingkungan sekitar kita dari pada hidup sendirian.
Berbeda dengan dunia barat dimana mereka memiliki dan menetapkan nilai-nilai individualistik
yang hampir sama dengan egoisme.
3. Hedonisme
Kata
hedonisme diambil dari Bahasa Yunani hedonismos dari
akar kata hedone, artinya "kesenangan". (Henk ten Napel. 2009, Kamus
Teologi:158). Paham ini berusaha menjelaskan adalah baik apa yang
memuaskan keinginan manusia dan apa yang
meningkatkan kuantitas kesenangan itu sendiri. Hedonisme adalah pandangan hidup
yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan
sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang
menyakitkan. (Frans magnis suseno, Etika Dasar.1987:114). Hedonisme merupakan
ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup
dan tindakan manusia. (Lorens Bagus. 2000, Kamus Filsafat:282).
Hedonisme
sebagai istilah yang menunjukan paham kesenangan berasal dari kata hedone yang
berarti kesenangan. Dalam kamus Bahasa Indonesia, hedonisme berarti paham yang
beranggapan bahwa kesenangan adalah yang paling benar di dunia ini.
Di dalam
sejarah filsafat Yunani kuno, tokoh filsuf yang pertama memperkenalkan
Hedonisme adalah Democritus (400-370 SM), yang memandang kesenangan
sebagai tujuan pokok di dalam hidup. Kendatipun yang dimaksud bukanlah hanya
sekedar kesenangan fisik saja, melainkan kesenangna fisik sebagai alat
perangsang bagi berkembangnya intelektual manusia. Epicurus (341-270
SM), sebagai tokoh masa Hellenisme, ia lebih mempunyai argumen yang lebih
rinci mengenai Hedonisme. Baginya kesenangan tetap menjadi sumber norma, tetapi
tidak sekedar meliputi kesenangan jasmaniah semata-mata, sebab kesenangan ini,
terutama yang terlalu berlebihan akhirnya akan menimbulkan rasa sakit pula.
Banyak makan enak terkadang akan menimbulkan sakit perut, begitu juga banyak
melakukan hubungan seksual akan menyebabkan kelelahan yang luar biasa. Senang
bagi Epicurus bermakna tidak adanya rasa sakit di dalam badan dan
tidak adanya kesulitan kejiwaan. Sehingga puncak Hedone menurut
Epicurus adalah ketenangan jiwa.
4. Opportunisme
Dalam kamus
besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa opurtunisme adalah paham yang semata-mata
hendak mengambil keuntungan untuk diri sendiri dari kesempatan yang ada tanpa
berpegang pada prinsip tertentu (nomina). Oportunisme juga dimaknai sebagai
suatu aliran pemikiran yang menghendaki pemakaian kesempatan menguntungkan dengan
sebaik-baiknya, demi diri sendiri, kelompok, atau suatu tujuan tertentu.
Oportunisme adalah tindakan bijaksana yang
dipandu terutama oleh motivasi mementingkan
diri sendiri. Istilah ini dapat diterapkan untuk individu, kelompok, organisasi, gaya, perilaku, dan tren.
Hal ini mungkin dipinjam dari ekspresi Italia opportunism (yang pada abad ke-19
politik Italia berarti "mengambil keuntungan
dari keadaan yang berlaku") atau dari Republik
oportunis di Perancis, dan memasuki bahasa Inggris di 1870-an.
Dalam
tataran praksis oportunis lebih dimaknai pada sikap seseorang yang tidak
memiliki prinsip tertentu, dimana bisa mengambil manfaat dari situasi yang ada
untuk kepentingan dirinya. Oportunis tidak lebih sebagai sebuah parasit, tidak
mau mengambil resiko, oportunis seperti bajing loncat. Tidak tuntas dalam
persoalan ini lalu lari ketempat aman dimana dia bisa diuntungkan dengan
pelariannya dan menyisakan kerugian pada apa yang ditinggalkannya. Sikap
oportunis yang terpenting adalah bagaimana hasratnya terpenuhi, tidak mau tahu
apakah ada yang rugi atau tidak dengan sikap yang diambilnya.
Banyak hal
sebenarnya contoh dan fakta yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita.
Dalam dunia politik misalnya bisa kita bedakan para politisi yang memiliki prinsip
politikal untuk mensejahterahkan rakyatnya dengan mereka yang hanya mengekor
pada yang berkuasa, dengan catatan bahwa proses yang dia lakukan menguntungkan
bagi dirinya dan partainya. Politisi oportunis memiliki inkonsistensi sikap
dalam memperjuangkan apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajibannya. Ketika
masih dalam proses kampanye, dia begitu dekat dengan rakyatnya dan berjanji
melakukan ini dan itu untuk memperjuangkan hak masyarakat dan rakyatnya di
parlemen, tapi ketika jadi duduk dikursi empuk parlemen dia justru ikut penguasa
yang dipandang memiliki power dan menguntungkan dirinya, tidak peduli apakah
kebijakan yang diambilnya justru merugikan masyarakat, yang paling prinsip
adalah ketika dia melakukan sikap ini dia aman dari posisi jabatannya. Kalau
dia tetap mencoba memaksakan diri untuk melawan arus yang berpihak pada rakyat
dia khawatir justru posisi dirinya terancam dari partainya untuk diganti. Jadi
politisi model oportunis seperti ini lebih memilih menghianati rakyat dan
bangsanya daripada posisi dirinya diberhentikan.
Sikap
oportunis sangat berbahaya dan merugikan bagi siapapun, sikap ini bisa terjadi
pada aspek apapun tak terkecuali dalam dunia pendidikan, baik pada dosen itu
sendiri yang memanfaatkan mahasiswanya maupun mahasiswa yang memanfaatkan
mahasiswa lainnya. Sebagai akademisi tentu kita malu kalau memiliki sifat
seperti ini, karena disamping kita dianggap sebagai kaum intelektual, kita juga
menjadi harapan penerus generasi bangsa. Apa jadinya kalau misalnya kalangan
intelektual menjadi kaum oportunis? Tentu bumi pertiwi akan menangis melihat
kondisi ini. Jadi sebagai kaum intelektual banyak hal positif lain yang bisa
lakukan tanpa harus melakukan sikap oportunisme yang menurut penulis adalah sebagai
bentuk pengingkaran pada Pancasila yang mengajarkan bagaimana kita bersikap
arif dan terbuka terhadap sesama, katakan yang benar itu benar dan yang salah
itu salah bukan malah sebaliknya. Dunia mahasiswa hari ini kerap kali dijadikan
sebagai ajang dan media melakukan sikap-sikap oportunisme. Sebutlah misalnya
bagaimana para oportunis menjadi joki dalam tes masuk perguruan tinggi,
menerima jasa pembuatan skripsi dan lain sebagainya. Parahnya lagi terkadang
dimainkan oleh oknum-oknum dosen yang ada di kampusnya. Miris melihat potret
dunia akademis yang seperti ini, sehingga kedepan perlu adanya motivasi dan
sugesti yang dilakukan oleh para stake
holder kampus yang memiliki hati dan kejernihan pikiran untuk menyadarkan
mereka-mereka yang telah menjadi pelaku oportunis. Disamping kampus juga
memberikan regulasi yang begitu ketat bahwa kalau mereka benar-benar terbukti
melakukan hal yang disebutkan diatas akan dikeluarkan dari almamater tersebut,
karena apa yang mereka lakukan memperparah kondisi pendidikan di negeri yang
kita cintai ini.
2.3 Bentuk
Lunturnya Ideologi Pancasila
Di era globalisasi ini
banyak nilai-nilai Pancasila yang begitu penting telah tergeser oleh
nilai-nilai dan pola pikir kebaratan yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia
yang ketimuran. Hal berakibat adanya krisis moral yang terjadi pada bangsa
Indonesia diberbagai lapisan masyarakat, mulai dari para elite-elite politik
hingga individu-individu. Selain itu hal ini merupakan ancaman bagi bangsa
Indonesia untuk menjaga nilai-nilai Pancasila agar tidak tenggelam dengan
selalu mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan
kriminal seperti pengeboman, pemerkosaan, perampokan, pembunuhan, korupsi,
kolusi, dan nepotisme sudah menjadi masalah yang sering terjadi. Hal ini
terjadi karena manusia telah melupakan hakekatnya sebagai makhluk yang
berTuhan, makhluk sosial, dan makhluk pribadi sehingga tidak lagi menjalankan
tugas sebagai khalifah di bumi. Sifat dasar manusia yang serakah dan selalu
ingin mendapatkan lebih adalah salah satu hal penyebabnya. Selain itu manusia
tidak bisa mengendalikan sifat dasarnya yaitu menghalalkan segala cara hingga
mengesampingkan bahkan menghilangkan etika dan moral kehidupan serta menyimpang
dari norma Pancasila. Dari situlah awal mula masalah tersebut muncul. Kami
meyakini bahwa selain faktor-faktor yang bersifat internal seperti yang diatas,
ada peran dari faktor-faktor eksternal yang ikut menggeser dan ‘melunturkan’ nilai-nilai
Pancasila, sebagai contoh adalah kehadiran internet. Di dalam internet terdapat
berbagai macam informasi yang kita butuhkan apabila kita adalah seorang
akademisi, akan tetapi di dalam internet pula banyak hal-hal negatif yang
apabila kita tidak menjaga diri kita dari pengaruh buruk internet, maka akan
terjadi suatu degradasi sosial dan degradasi moral karena kita tidak bisa
membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Sehingga pada akhirnya
masyarakat luas akan semakin melupakan jati dirinya sebagai warga Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan bukan tidak mungkin apabila kita tidak menjaga
diri kita dari ancaman lunturnya nilai-nilai Pancasila di masyarakat, kita akan
menjadi negara tanpa ciri-ciri khusus yang menunjukkan kita sebagai seorang
warga negara Indonesia.
Bangsa Indonesia
bertekad mengimplementasikan Pancasila untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Anak kalimat, memajukan
kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial dalam Pembukaan UUD 1945,
merupakan amanat bagi bangsa Indonesia dalam membangun perekonomian nasional,
guna memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa
Indonesia harus cerdas untuk mengolah sumber daya nasionalnya serta mengakses
semua kemajuan dunia agar mampu menciptakan kesejahteraan umum yang
terus berkembang ke arah kemajuan. Usaha menyejahterakan dan mencerdaskan
bangsa haruslah dilandasi lima faktor yakni : (1) Bebasnya bangsa Indonesia
dari segala bentuk penjajahan, termasuk penjajahan ekonomi. (2) Secara politik
dan keamanan nasional, bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia harus
dilindungi dari segala bentuk gangguan dan ancaman. (3) Kecerdasan kehidupan
bangsa, baik individu maupun masyarakat harus terwujud. (4) Aktivitas bangsa untuk
ikut serta menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia. (5) Mengimplementasikan
konsep, prinsip dan nilai Pancasila, sehingga keadilan sosial dapat terwujud.
1. Hilangnya
manusia yang ber-“Ketuhanan Yang Maha Esa”
Dalam pemberitaan diberbagai
media akhir-akhir ini kita sering dilihatkan dan dihadapkan kepada fakta bahwa
banyak terjadi aksi-aksi anarkis yang ditujukan kepada suatu kelompok agama
tertentu yang diduga dilakukan oleh suatu Ormas Keagamaan tertentu. Ini adalah
adalah satu contoh dan bukti dari belum diimplementasikannya nilai-nilai sila
pertama yang menjunjung kebebasan beragama bagi setiap warga Indonesia.
Tindakan anarkis yang mengatasnamakan suatu agama tertentu dijadikan tameng
untuk melawan aparat hukum dan mengahakimi suatu agama tertentu. Masyarakat
Indonesia saat ini yang sudah berlabel modern sepertinya tidak lagi memakai
cara pandang dari sisi keagamaan dengan benar. Masyarakat Indonesia saat ini
yang sudah dikenal pintar sepertinya sudah tidak lagi memandang sila pertama
yaitu “ Ketuhanan Yang Maha Esa “ sebagai salah satu acuan dalam menjalani
kehidupan beragama di Indonesia melainkan hanya sebuah hafalan saat di SD.
Nilai-nilai kegamaan
yang bersumber langsung dari Tuhan sejatinya adalah suatu kebenaran yang harus
ditaati oleh setiap orang yang beragama dan dijadikan suatu ‘batas’ dan
‘pengingat’ saat melakukan suatu tindakan agar tidak melenceng dari norma dan
nilai kebenaran.
Namun fakta yang sering
dihadapkan kepada kita banyak yang memperlihatkan betapa rusaknya moral masyarakat
Indonesia saat ini. Bahkan lunturnya nilai-nilai dari sila pertama ini sudah
sampai kepada urusan pemerintahan dan ketatanegaraan. Aksi-aksi KKN (Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme) sepertinya sudah mendarah daging dan menjadi hal yang
lumrah bagi para elite-elite politik, baik ditingkat terendah seperti desa
hingga ke tingkat yang paling tinggi seperti jajaran wakil rakyat ( DPR ) dan
pejabat-pejabat negeri. Hal ini tentu saja tidak akan terjadi apabila para
pelaku KKN tersebut memiliki kesadaran dan modal yang berlandaskan kepada
nilai-nilai keagamaan dan keimanan yang terkandung dalam sila pertama. Sebagai
perbandingan, kita bisa melihat saat di era Orde Baru dimana pada saat itu
masyarakat Indonesia bisa dengan tenang beragama selama apa yang mereka lakukan
tidak mengganggu kenyamanan umum. Selain itu saat
penentuan Hilal sebagai acuan umat Islam dalam menentukan Hari Raya
Idul Fitri, tidak banyak perdebatan dan pertentangan antara kelompok Islam
tertentu ( NU, Muhammadiyah dll ), hal ini membuktikan bahwa hari demi hari
sejak Orde Baru hingga pasca Reformasi sekarang, nilai-nilai dari Pancasila
semakin ditinggalkan.
Lunturnya nilai-nilai
yang terkandung dalam sila pertama ini diperparah dengan adanya globalisasi
yang hari demi hari semakin tidak ter-filter antara yang baik dan buruk.
Misalnya saja, makin banyaknya tontonan di televisi yang mengajarkan kita
kepada suatu sifat Hedonisme yang suka berfoya-foya dan berhura-hura,
makin banyaknya tayangan televisi yang mengumbar bagian tubuh wanita dengan
bebasnya, makin banyaknya acara televisi yang mengajarkan kita kepada suatu
pola hidup yang sangat tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia. Baik secara
langsung atau tidak langsung, efek buruk yang dihasilkan dari contoh tersebut
akan memengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia agar berperilaku seperti apa
yang ada di televisi tersebut. Efek buruk dari contoh diatas terbukti dengan
meningkatnya aksi seks bebas yang dilakukan oleh para remaja dengan rentangan
umur 15-23 tahun, meningkatnya pemakai narkoba di Indonesia yang didominasi
oleh para remaja, dan meningkatnya aksi-aksi kriminalitas yang disebabkan
pelaku merasa terprovokasi oleh apa yang ia lihat di televisi.
Kemajuan teknologi sejatinya bisa
memberikan kemudahan dan peningkatan mutu kehidupan siapapun yang menggunakan
kemajuan teknologi tersebut, akan tetapi kemajuan teknologi ini pula yang bisa
membawa manusia pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada khususnya lupa akan
jati dirinya yang harus berpegang teguh atas nilai-nilai sila pertama, yaitu sebagai
mahluk yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.
Langkanya “Kemanusiaan yang adil dan beradab”
Nilai-nilai yang terkandung dalam sila
kedua ini kami jabarkan sebagai berikut :
1.
Mengakui persamaan derajat, persamaan
hak, dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
2.
Saling mencintai sesama manusia.
3.
Mengembangkan sikap tenggang rasa.
4.
Tidak semena-mena terhadap orang lain.
5.
Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan
Hak Asasi Manusia.
6.
Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
7.
Menjaga sifat dan sikap Gotong Royong.
Nilai-nilai diatas
apabila bisa dijalankan dan diimplementasikan sepenuhnya didalam kehidupan
bermasyarakat kami yakin Indonesia akan menjadi sebuah bangsa yang memiliki
tingkat kemiskinan rendah, sifat keramah-tamahan yang mendunia, sekaligus
menjadi sebuah bangsa yang unik dimata dunia karena keadilan dan keberadabannya
dalam kehidupan masyarakatnya tetap terjaga. Namun masih ingatkah pembaca
dengan kejadian seorang nenek tua yang karena tekanan ekonomi yang dialaminya
terpaksa memungut dua buah kakao yang ditemukannya di jalan lantas nenek
tersebut dituntut dijatuhi hukuman di persidangan? Atau ingatkah pembaca
tentang kejadian memalukan yang diperlihatkan oleh para elite politik yang menamai
dirinya sebagai “Dewan Perwakilan Rakyat” saat berlangsungnya Sidang Paripurna
terlibat aksi baku-hantam antar sesama anggota dewan lainnya? Dan ingatkah
pembaca dengan tingkah salah satu anggota dewan saat acara Rapat Paripurna
justru membuka situs porno? Semua contoh ini adalah bukti dari bergesernya
nilai-nilai dari sila kedua.
Kemanusiaan yang adil
dan beradab semakin jauh dari kata terwujud apabila kita melihat fakta-fakta
yang terjadi di masyarakat. Dari sisi hukum kita dihadapkan kepada ketidakadilan
hukum yang berlaku di Indonesia yang seperti ‘pisau’ tajam kebawah, akan tetapi
tumpul keatas. Hal ini terbukti dengan banyaknya para pelaku korupsi yang
merampok milyaran bahkan trilyunan uang rakyat yang hanya dihukum kurang dari
lima tahun penjara. Sebagai contoh adalah Anggodo Widjojo yang terbukti
merekayasa kriminaslisasi dua anggota KPK masih bisa bebas seakan tidak
terjerat oleh hukum. Tentu saja ini sangat berlawanan dengan kisah seorang
nenek yang bernama Minah yang secara terpaksa memungut dua buah kakao seharga
Rp. 2100 yang ditemukannya dijalan untuk dimakan oleh dirinya yang saat itu
kelaparan, akan tetapi ia harus menjalani hukuman penjara selama 1.5 tahun
dengan masa percobaan selama 3 bulan. Selain itu masih ingatkah pembaca dengan
kejadian memalukan yang terjadi saat sidang Paripurna terkait masalah Bank
Century beberapa anggota dewan yang terhormat terlibat aksi baku hantam? Hal
ini salah satu bukti bahwa keberadaban yang terdapat di sila kedua belum
sepenuhnya terlaksana.
3. Retaknya
“Persatuan Indonesia”
Indonesia adalah negara
kepulauan dengan jajaran pulau-pulaunya yang berjumlah lebih dari 17.560 pulau.
Para Founding Father kita
dengan susah payah berusaha untuk mempersatukan seluruh kepulauan bekas jajahan
untuk bersatu menjadi suatu negara yang disebut Indonesia. Kita sebagai
generasi penerus haruslah bisa menjaga harta warisan dari generasi sebelumnya
dengan sebaik mungkin. Selain itu, hal ini sudah tentu menjadi tugas wajib
pemerintah untuk memerhatikan kesejahterahan rakyatnya dimanapun mereka
tinggal. Namun, sudahkah hal ini dilakukan oleh pemerintah? Kita bisa melihat
bahwa di Pulau Jawa kemajuan teknologi, transportasi, telekomunikasi, akses
pendidikan dan kesehatan sudah sangat maju dan mudah didapatkan, hal ini sangat
kontradiksi dengan keadaan yang terjadi di pulau-pulau yang jauh dari Ibukota
Jakarta, misalnya saja pulau Papua. Papua adalah pulau yang memiliki
berbagai kekayaan alam yang melimpah, akan tetapi pemerintah seakan menutup
mata terhadap kondisi yang dihadapi oleh masyarakat lokal Papua. Pemerintah
justru cenderung memanfaatkan situasi sulit yang dihadapi oleh masyarakat Papua
untuk menjual berbagai macam aset milik masyarakat Papua seperti tambang emas
kepada PT. Freeport. Hal ini bisa saja menjadi salah satu alasan dari retaknya
“Persatuan Indonesia” karena masyarakat lokal merasa di “anak tirikan” oleh
pemerintah. Sebagai contoh, di Papua terdapat organisasi separatisme bernama
OPM (Organisasi Papua Merdeka), di Maluku terdapat organisasi separatisme
bernama RMS (Republik Maluku Serikat), dan sebagai pengingat di Aceh ada GAM (Gerakan
Aceh Merdeka), akan tetapi antara pihak GAM dan pemerintah sudah setuju untuk
berdamai berdasarkan hasil konferensi di Den Haag Belanda. Dengan adanya
gerakan separatisme dari beberbagai daerah seperti contoh diatas, hal ini
menandakan bahwa adanya rasa kekecewaan dari masyarakat yang merasa “dilupakan”
oleh pemerintah dalam segi kehidupan seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan,
dan berbagai macam sarana penunjang kemajuan daerahnya. Kekecewaan masyarakat
ini ditunjukkan dengan aksi-aksi pengibaran bendera dari organisasi separatisme
mereka sebagai penanda bahwa mereka ingin melepaskan diri dari Republik
Indonesia, inilah salah satu bukti dari Retaknya “Persatuan Indonesia”.
Selain itu, kami
memberikan contoh dari sisi yang berbeda atas lunturnya nilai-nilai sila
ketiga. Misalnya saja dari sisi sesama individu dalam hal olahraga, kita sering
mendengar terjadinya kerusuhan antar suporter yang terjadi seusai tim
kesayangannya berlaga, hal ini menandakan bahwa mereka tidak memilik rasa
persatuan sebagai sesama warga negara Indonesia dan tidak memiliki semangat
untuk memajukan persepakbolaan di Indonesia. Dalam hal ini kami mempercayai
bahwa ada pengaruh negatif yang secara tidak langsung diberikan dari para politic figure yang mengurusi PSSI.
Para pecinta sepak bola tanah air baik secara langsung atau tidak langsung
terpengaruh dari situasi politik yang memanas didalam tubuh PSSI, dan hal ini
berujung dengan dibuatnya dua laga kompetisi yang berbeda dibawah PSSI yaitu ,
ISL (Indonesia Super League) dengan IPL (Indonesia Premier League).
Pada dasarnya perbedaan
makna dari persatuan dan kesatuan adalah, persatuan adalah konsep awal yang
dibuat oleh para Founding Father sebelum
Indonesia merdeka, dengan asumsi bahwa semua ras, agama, etnis, suku bangsa,
dan bahasa yang terdapat di Indonesia harus bisa bersatu dahulu sebelum menjadi
sebuah kesatuan. Sedangkan makna dari kesatuan adalah, seluruh perbedaan
primordial yang ada di Indonesia sudah bersatu dan melebur menjadi satu jati
diri dan menjadi satu bangsa dan negara yaitu Indonesia tanpa harus
menghilangkan ciri khas dari masing-masing kriteria primordial tersebut.
Pemerintah tidak bisa
menutup mata lagi terhadap kondisi rakyatnya yang berada di pulau-pulau terluar
dari batas wilayah Indonesia dan daerah-daerah perbatasan, karena mereka pada
dasarnya mengakui bahwa mereka adalah warga negara Indonesia yang rela
berkorban hidup dalam segala keterbatasan yang ada, dan selalu setia untuk
mengibarkan bendera merah putih di daerahnya. Apakah pemerintah masih bisa untuk
mengutamakan pembangunan di daerah perkotaan? Apakah pemerintah masih bisa
untuk mengutamakan jaminan kesehatan, pendidikan, transportasi hanya untuk
daerah perkotaan? Sedangkan di satu sisi, banyak warga negaranya yang dengan
setia, rela berkorban, dan tanpa pamrih bersedia untuk hidup dibawah garis
kemiskinan sekaligus mengakui bahwa mereka adalah warga negara Indonesia.
Apabila pemerintah masih bersikap acuh tak acuh, maka bukan tidak mungkin dalam
30-40 tahun kemudian akan banyak organisasi-organisasi separatisme akan
bermunculan di berbagai daerah dengan tujuan yang sama yaitu untuk melepaskan
diri dari Republik Indonesia.
4.
Tidak
adanya “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
dan perwakilan”
Pemimpin yang amanah,
adil, bertanggung jawab, dan bijaksana adalah sosok ideal dari seorang pemimpin
suatu bangsa. Pemimpin dengan kriteria semacam ini peluang keberhasilannya
dalam memimpin suatu organisasi atau negara akan lebih besar, terlebih apabila
pemimpin semacam ini mengedepankan kepentingan bersama daripada kepentingan
pribadi. Indonesia yang sejak merdeka pada tahun 1945 sudah mengalami
pergantian presiden sebanyak enam kali dimana presiden terakhir adalah Susilo
Bambang Yudhoyono sudah menjadi presiden dalam dua periode kepresidenan. Namun
sudahkah rakyat Indonesia saat ini benar-benar dipimpin oleh hikmat kebijaksaan
dalam permusyawaratan dan perwakilan?
Apabila
kita melihat dari fakta dan kenyataan yang ada di masyarakat, mungkin Indonesia
bisa dikatakan masih belum sepenuhnya menerapkan nilai-nilai yang terkandung
dalam sila keempat. Hal ini bisa dilihat dari hasil-hasil sidang, rapat, atau
berbagai pertemuan para elite politik dimana kebanyakan tidak menghasilkan
sesuatu hal yang secara konkrit memihak rakyat. Sebagai contoh, masih ingatkah
pembaca dengan kelakuan para petinggi elite politik saat isu kenaikan harga
bahan bakar di awal bulan April kemarin? Dalam sidang tersebut terlihat jelas
bahwa para elite politik tidak sepenuhnya memihak kepada rakyat dan terkesan
ragu-ragu dalam mengambil keputusan yang berani dan memihak kepada rakyat.
Perlu kami tambahkan bahwa para wakil rakyat sekarang cenderung lebih
mengutamakan kepentingan pribadinya dibandingkan dengan kepentingan rakyat,
dengan asumsi bahwa kesempatan untuk memperkaya diri sendiri selama menjabat
menjadi anggota dewan atau wakil rakyat tidak datang dua kali. Tentu hal ini
bisa dikatakan adalah suatu tindakan yang menciderai hati rakyat dan menodai
nilai-nilai Pancasila. Para pemimpin sekarang lebih menyukai untuk memaksakan
kehendak daripada bersikap sabar dalam mengambil keputusan demi kepentingan
rakyat Indonesia. Hal ini diperparah dengan metode yang dipakai para anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dalam menentukan suatu keputusan, mereka lebih menyukai
cara pengambilan keputusan dengan Voting. Voting adalah cara menentukan
keputusan yang paling buruk, karena voting tidak mengedepankan pemikiran
rasional melainkan tergantung dari jumlah suara terbanyak. Kami berpendapat
bahwa seharusnya apabila kita menelaah lebih dalam dari nilai Pancasila
khususnya sila keempat, Indonesia memiliki suatu cara khusus dalam menyatukan
suara dan memutuskan suatu permasalahan yaitu dengan cara musyawarah. Hasil
musyawarah tidak akan tercapai apabila belum tercapainya kesepakatan bersama,
dengan metode ini maka tidak akan ada perasaan dari masing-masing anggota yang
merasa tersakiti saat hasil musyawarah ditetapkan.
Pancasila sebagai dasar
negara dan landasan idiil bangsa Indonesia, dewasa ini pada zaman reformasi
saat ini pengimplementasian Pancasila sangat dibutuhkan oleh masyarakat, karena
di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang sesuai
dengan kepribadian bangsa. Selain itu, pada era globalisasi ini begitu cepat
mempengaruhi negara-negara di seluruh dunia termasuk Indonesia. Gelombang
demokratisasi, hak asasi manusia, neo-liberalisme, serta neo-konservatisme dan
globalisme bahkan telah memasuki cara pandang dan cara berfikir masyarakat
Indonesia. Hal demikian bisa melunturkan Pancasila dan dapat menghadirkan
sistem nilai dan idealisme baru yang bertentangan dengan kepribadian bangsa.
Pancasila, dalam
fungsinya sebagai dasar negara, merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur
negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni
pemerintah, wilayah dan rakyat. Pancasila sebagai dasar negara mempunyai arti
menjadikan Pancasila sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan.
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Hal ini menempatkan
Pancasila sebagai dasar negara yang berarti melaksanakan nilai-nilai Pancasila
dalam semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah
seharusnya semua peraturan perundang-undangan di negara
Republik Indonesia bersumber pada Pancasila. Pancasila sebagai dasar
negara Republik Indonesia mempunyai implikasi bahwa Pancasila
terikat oleh suatu kekuatan secara hukum, terikat oleh struktur kekuasaan
secara formal, dan meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum yang
menguasai dasar negara (Suhadi, 1998).
5.
Mimpi
Indonesia tentang “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Kondisi Indonesia saat
ini masih jauh dari kata sejahtera, hal ini bisa dilihat dari berbagai macam
indikator, misalnya dengan melihat masih banyaknya rakyat miskin diberbagai daerah
diseluruh Indonesia. Tingkat kemiskinan di Indonesia sangat tinggi, data
terakhir yang dikeluarkan pemerintah pada tahun 2011 menunjukkan angka sebesar
17.7 juta orang masih hidup dibawah garis kemiskinan Indonesia. Selain itu dari
bidang kesehatan pun masyarakat miskin di Indonesia seperti melihat jarak
atau gap yang jauh antara mereka dengan masyarakat yang mampu.
Jaminan kesehatan yang seharusnya berhak dimiliki oleh semua rakyat Indonesia
pada kenyataannya tidak berjalan dengan semestinya. Selain itu dari sisi
pendidikan, mayoritas mereka yang mengenyam pendidikan dengan fasilitas baik
infrastruktur dan intrastruktur yang layak adalah mereka yang mampu dalam segi
ekonomi atau dengan kata lain hidup diatas garis kemiskinan di Indonesia. Hal
ini tentu saja tidak sesuai dengan bunyi dari sila kelima yang berbunyi “keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Jika kita melihat dari sudut pandang
antar daerah pun, kita akan dihadapkan pada kenyataan atas ketimpangan dalam
hal pembangunan yang terjadi. Daerah kota seperti lebih diistimewakan oleh
pemerintah dalam hal pembangunan, sedangkan daerah-daerah yang jauh dari
keramaian kota seakan-akan dilupakan dan pemerintah bagai menutup mata.
Ketimpangan sosial di tingkat antar daerah banyak terjadi, hal ini terlihat
jelas dari perkembangan ekonomi di daerah tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Lunturnya nilai-nilai Pancasila
dalam masyarakat tidak lebih sebagai dampak dari majunya arus informasi yang
tanpa sekat dan aling-aling dengan memasukkan nilai-nilai dan budaya yang
begitu bebas sehingga sangat mudah untuk mempengaruhi kondisi bangsa khususnya
para pemuda. Sebagai langkah solutif dalam mencegah rusaknya moral bangsa dan
rakyat Indonesia. Perlu adanya kerjasama antara para stake holder, penegak hukum, politisi dan seluruh elemen masyarakat
bangsa ini sehingga kerjasama yang dilakukan akan melahirkan counter sosial dan budaya yang tidak
diinginkan dengan memproteksi bangsa ini dari nilai-nilai kebudayaan luar
justru menjauhkan diri dan merusak moral-moral generasi Bangsa.
Dalam era terbuka
ini negara Indonesia tidak bisa menghindari akan adanya tantangan
globalisasi, Indonesia harus tetap siap menghadapinya dan melakukan
preventisasi budaya Hedonis, Egois, Oportunis, dan budaya-budaya luar lainnya
yang masuk dengan dan harus mulai memformat ulang dengan menjadikan
Pancasila sebagai pedoman dalam menghadapi globalisasi bangsa agar nilai-nilai
Pancasila yang kini mulai redup, akan kembali hidup dalam diri masyarakatnya.
3.2 Saran
1.
Sebaiknya kerjasama semua
elemen masyarakat untuk menjaga nilai-nilai Pancasila tetap hidup sangat perlu
dilakukan untuk membuat Pancasila tetap menjadi sebuah ideologi yang utuh di
negerinya sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Amalia, Nitya. 2013. Lunturnya
Nilai-Nilai Pancasila, (Online), (http://hi-undip.blogspot.com/2013/09/lunturnya-nilai-nilai-pancasila-dalam.html), diakses 2 April 2014.
Lestari, Ageng. 2013. Mulai
Lunturnya Ideologi Pancasila, (Online), (http://ceritasenj.blogspot.com/2013/12/mulai-lunturnya-ideologi-pancasila.html), diakses 3 April 2014.
Ningsih, Chayu. 2012. Lunturnya
Ideologi Pancasila Dalam era Globalisasi, (Online), (http://chayu-21.blogspot.com/2012/06/lunturnya-ideologi-pancasila-dalam-era.html), diakses 2 April 2014.
Sadulur, Jejak. 2012. Lunturnya
NIlai Pancasila, (Online), (http://kaluargi.blogspot.com/2012/06/lunturnya-nilai-pancasila.html), diakses 3 April 2014.
Sativani, Riza. 2010. Lunturnya
Nilai Pancasila, (Online), (http://oryza-sativa135rsh.blogspot.com/2010/01/lunturnya-nilai-pancasila-dampak.html), diakses 2 April 2014.
izin copy terimakasih
BalasHapus